Pages

Tuesday 20 November 2007

Revolusi Bambu...!

Beberapa bulan yang lalu, dalam sebuah penerbangan dari Melbourne ke Denpasar saya berkesempatan berkenalan dengan seorang entrepreneur muda yang kebetulan duduk bersebelahan denganku. Mahasiswa post graduate sebuah universitas di Australia ini benar-benar menjadi “dosen terbang” bagiku, semenjak awal tegur sapa kami di dalam pesawat. Sejak itu, aku mulai banyak mengumpulkan informasi-informasi tentang salah satu “makhluk” ciptaan sang Maha Pencipta ini.

Bambu! Topik pembicaraan yang benar-benar membuka wawasanku tentang potensi lain dari negara kita.

Bambu, tumbuhan hijau dedaunan sirip dengan batang serupa kayu-kayuan termasuk dalam family rerumputan Poaceae, subfamily Bambusoideae, merupakan tumbuhan yang sangat kita akrabi. Tumbuh dimana saja dalam lingkukan daerah beriklim tropis baik di Asia Timur maupun di Asia Tenggara. Bambu, rumput ajaib ini, bisa tumbuh mulai dari tinggi kira-kira 30cm hingga 30 meter.

Sudah semenjak lama, kita memanfaatkan bambu dan segala jenis turunannya untuk bahan bangunan, makanan, obat-obatan ataupun produk-produk kerajinan. Juga janganlah lupakan “bambu runcing” yang konon kabarnya bisa meluncur lebih cepat dari peluru “kumpeni” dalam perang kemerdekaan.

Dari sekitar 1000 species bambu, “dosen terbang”-ku bilang lebih dari 90%-nya bisa ditemukan di Indonesia.

“Bambu itu kuat loh, tensil strenght-nya melebihi tensil strenght baja…”, tandasnya yakin. Kekuatan tarik bambu adalah 28,000 per squre inchi, dibanding 23,000 untuk baja.

Bambu juga dikenal sebagai “the strongest and the fastest growing plant on the planet”. Pertumbuhan batang bambu bisa 3 kali lebih cepat dari pertumbuhan pohon kayu. Bambu sangat mudah tumbuh, dan dalam 3-5 tahun akan beranak pinak memenuhi lahan tanpa diolah, tanpa perlu pestisida, siap untuk dipanen. Bandingkan dengan pohon-pohon kayu yang membutuhkan 10-15 tahun untuk siap tebang.

Vegetasi yang pertama kali bangkit dari kehancuran pemboman Nagasaki dan Hiroshima adalah bambu, yang mampu tumbuh kembali beberapa minggu sesudah pembumihangusan atomik. Ini juga menunjukkan betapa gigihnya bambu mempertahankan kehidupan yang diberikan Allah kepadanya.

Tebang satu, tumbuh seribu begitulah bambu…ini obat anti illegal logging! Selain itu, ini obat anti “global warming” – penyeimbang kadar oksigen/karbon dioksida.

Kegunaan lain-lain…hmm masih ingat Thomas Alva Edison ? Filamen bola lampu pertamakali dia buat dari serat karbon batang bambu.

Bambu juga seharusnya menjadi suatu komponen kritikal dari bangun ekonomi suatu entitas negara. Bambu dan industri-industri terkait dengannya sudah semenjak lama menjadi sumber penghidupan ekonomi bagi masyarakat, bahan pangan dan papan (terakhir juga bahan sandang) bagi sekitar lebih dari 2 milyar penduduk dunia. Biasanya, sudah menjadi anggapan umum bahwa ROI dari sebuah investasi lahan bambu adalah sekitar 3-5 tahun, cukup kompetitif bila dibandingkan misalnya dengan 8-10 ROI dari investari holtikultura. Beberapa negara dengan kandungan cadangan lahan bambu yang besar (sekitar 20,000,000 hektar) seperti China, India, dan Burma telah memulai program-program nasional terpadu untuk pemanfaatan bambu sebagi komoditi komersial.

Beberapa terobosan akhir-akhir ini dibuat oleh negara-negara dengan potensi bambu yang memadai. Bambu sudah menjadi alternatif bahan pembuat “green plastic”. Beberapa dashboard mobil mewah menjadikan topik “green plastic” ini sebagai nilai jual mereka. Konstruksi rumah tinggal dengan bahan bambu anti gempa juga laris manis di Jepang.

Sayur rebung, ketan lamang, lun pia semarang juga merupakan makanan yang bergizi tinggi. Daripada kelaparan mencari beras, mendingan makan rebung bambu! Kalau Panda sangat gemar makan daun bambu, mungkin enak bila dibuat sayur bening.

Di Cina, nampaknya mereka sedang mengembangkan banyak proyek rahasia misalnya mengolah bambu dan turunannya menjadi biofuel (?). Termasuk juga ramuan untuk coating permukaan bambu agar anti lembab dan anti rayap. Kalau untuk serat pakaian, sudah tersedia dipasaran, bahkan produk jadinya sekalipun. Jangan ditinggalkan juga, aplikasi bubur bambu untuk pembuatan kertas. Beberapa kabel pun juga sudah dibuat dengan campuran turunan bambu. Akhirnya, aplikasi di bidang farmasi sudah turun temurun diteliti dan digunakan di Cina.


Sudah saatnya bangsa kita menoleh ke aplikasi bambu. Ayo pelajari bambu, sebab salah satu tumbuhan yang tidak bisa tumbuh di benua Eropa adalah bambu. Jangan-jangan bangsa Eropa dulu menjelajahi lautan hingga ke Nusantara bukan untuk mencari rempah-rempah melainkan mencari bambu (kalau ini cuma guyonan).
Jangan kaget Bung, bila 5 tahun kedepan akan terjadi sebuah revolusi ekonomi – Revolusi Bambu! Sayang kalau itu terjadi di negara lain (negara tirai bambu), bukan di sini (negara bambu runcing).

Sunday 11 November 2007

Jujur Pangkal Kaya, Jujur Pangkal Pandai !

Biaya pemilu di Indonesia sangatlah mahal. Anggota KPU yang baru dipilih mengisyaratkan estimasi total biaya semua agenda pemilu (legislatif, presiden) di tahun 2008 dan 2009 bisa mencapai angka yang mendekati jumlah 50 triliun rupiah. Banyak terjadi silang pendapat dan diskusi, mengenai sumber pendapatan untuk membiayai pemilu, sebagian dari APBN dan sebagian lagi dari APBD. Tapi, toh pada dasarnya itu uang milik bersama, uang milik rakyat, mau di daerah (D) ataupun di pusat (N).

Biaya terlalu mahal, semahal itukah ongkos pemilu ? Nampaknya mungkin ada benarnya. Banyak wacana yang membuktikan bahwa bila pemilu kita di Indonesia yang penduduk pemilihnya ini puluhan juta mungkin ratusan juta, agar hasil pemilu aman dari penyelewengan dan bersih maka harus dibuat banyak infrastruktur untuk mengawasi, banyak lembaga untuk mengawasi. Tujuan akhir agar hasil pemilu menjadi bersih dari ketidak jujuran.

Premisnya adalah bila biaya untuk suatu “kejujuran” itu mahal, maka itu terjadi karena banyak orang yang menginginkan “ketidakjujuran” di negara ini. Kalau semua orang cenderung mencenderungi untuk mencapai “kejujuran” maka mestinya kita bisa menikmati “biaya murah”.

Bandingkan ongkos pemilu tersebut dengan ongkos realisasi sektor ril (angka-angka di sini sekedar estimasi yang sangat kasar)

  • Kilang Minyak Langit Biru (Blue Sky) Balongan (kilang minyak pertama yang dibangun perusahaan Indonesia PT Rekayasa Industri – termodern dalam asset Pertamina) seharga US 154 juta saja – setara sekitar 1.4 Triliun Rupiah. Berarti kita bisa bangun lebih dari 30 buah kilang minyak serupa kalau pemilu kita bisa murah!
  • Pembangkit Listrik Panas Bumi (Geothermal) , potensial tenaga panas bumi kita kira-kira 26.000 MW, baru dipakai 3%. Pembangunan pembangkit butuh sekitar US$ 700.000 per MW atau biaya total sekitar 6.5 triliun rupiah untuk sebuah pembangkit 1000 MW. Kita buatkan saja pembangkit tenaga listrik geothermal uang budget biaya pemilu ?
  • Biaya budget APBN untuk pendidikan sekitar 44 triliun.



Kalau pemilu bisa kita lakukan dengan hanya mengacungkan jari, seperti pemilihan ketua kelas sewaktu saya SMA dulu, paling banter kita cuma butuh biaya untuk kertas dan spidol guna mencatat.

Kalau orang semua jujur, hasil pemilu ditaruh saja di dalam ember, tidak perlu pakai kotak alumunium. Tidak perlu pakai tinta karena orang tidak mau coblos dua kali atau lebih. Nggak perlu panitia pengawas dan lain-lain. Yang buta huruf dibantu untuk menulis dan membaca, yang membantu teruji kejujurannya… Biaya apalagi yang kita butuhkan…paling banter biaya sarapan kopi dan makan siang. Bawalah dari rumah masing-masing.

Terlebih lagi, karena semua kadidat yang kita pilih untuk lembaga legislatif dan presiden adalah orang-orang jujur, toh kita tidak perlu perduli siapa yang akan terpilih. Semua orang sama, sama-sama jujur! Bahkan mungkin kita akan sangat dengan ikhlas memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memimpin, karena kita ikhlas dipimpin. Bukankah ini yang terjadi pada pemilihan RT/RW ?

Sisa uang budget yang triliun-nan gunakan untuk membangun sector ril, gunakan untuk melipat gandakan budget pendidikan kita. Tabungan devisa kita makin banyak dan anak-anak kita makin pintar.

Bukankan ini indah…makin jujur kita, makin kaya dan pandailah kita. Bukan sekedar utopia. Subhanallah!

Saturday 3 November 2007

Anturium dan Nishab Zakat kita…

Kaget nian membaca berita di surat kabar tentang satu pot tanaman hias Anturium Jemanii silangan yang laku dijual (terbeli) seharga lebih dari 1 milyar rupiah. Kok bisa… Curi dengar kanan kiri, aku juga memahami bahwa saat ini tanaman hias jenis Anturium (Anthurium -- family Areacea) ini sedang naik pamor.

Produk dengan pangsa pasar ceruk (niche market) seperti ini memang memiliki profil harga dan permintaan yang sangat unik, karena dibuat dan berlaku bagi kalangan sempit para penikmatnya.

Profil pasar seperti ini sama persis dengan profil pasar untuk burung-burung kicau misalnya seperti Anis Merah yang pernah top dan laku puluhan juta hingga ratusan juta rupiah. Hal serupa terjadi pada Burung Perkutut dan Ayam Bekisar dari dulu hingga sekarang.

Dalam pasar seperti ini tidak berlaku hukum rantai pertambahan nilai (added value chain) yang mungkin secara logis membuat suatu produk menjadi bernilai lebih tinggi, misal untuk kasus ikan di sungai dan tanaman sagu bertambah nilai ekonomis dan fungsionalnya setelah menjadi adonan pempek di baskom, lalu bertambah lagi setelah digoreng/direbus, lalu bertambah lagi setelah di-“packing” dan siap kirim ke pelanggan, juga akan terus bertambah lagi sesuai jumlah butir yang dikirim dan lain-lain. Secara fungsional kita juga bisa mensejajarkan nilai ekonomis dan fungsional tadi setara dengan berapa kilo kalori karbohidrat dan protein yang terdapat di dalam pempek dan seterusnya.

Kalau pempek 10 kontainer siap kirim ke Malaysia laku dijual 1 milyar, aku tentunya bisa mahfum….

Lebih baik membuat sebuah kebun rumpun bambu dengan uang 1 milyar dibanding membeli satu pot tanaman hias. Bisa bermanfaat bagi masyarakat dan juga terus menghasilkan. Jumlah daun yang dihasikan juga lebih banyak ribuan kali dibanding jumlah daun dalam satu pot Anturium, kalau memang kita cari adalah daunnya bukan batangnya…

Anturium, burung perkutut, ayam bekisar, ikan arwana dibeli dengan harta. Harta yang kita miliki adalah titipan dari Allah, bahkan sebagian daripadanya adalah untuk orang lain yang membutuhkan dalam bentuk zakat, sedekah dan infak.

Sederhananya, kalau kita membelanjakan uang kita untuk sesuatu yang hanya bermanfaat bagi diri kita sendiri, maka yang jelas jumlah uang kita akan berkurang. Maka akan berkurang juga potensi jumlah nishab zakat kita, maka akan berkurang pula jumlah uang yang berhak diterima oleh para ahli zakat…

Dalam 1 milyar rupiah, bila dia mengendap satu tahun (ini tidak akan terjadi kalau kita belikan Anturium satu pot tadi), niscaya akan ada aliran dana 25 juta rupiah untuk para ahli zakat. Ini hampir cukup membiayai 9 hingga 10 orang anak yatim untuk tamat SMA. Atau belikan saja 20 gerobak untuk dagang bakso bagi saudara kita yang miskin, sehingga mereka memiliki peluang untuk terangkat secara ekonomi…

Hati-hati, aku tidak akan pernah bisa membayangkan jawaban apa yang harus aku berikan pada hari perhitungan kelak di depan Rabb yang menciptakan kita…”Ridwan kamu gunakan untuk apa uang 1 milyar tadi ?”

Sunday 28 October 2007

Pak Mufti – “Tukang Jahit Berjalan” dari Cipondoh!

Selepas menjemput anakku dari rumah temannya, tepat sebelum menikung ke jalan di depan rumahku, aku berpapasan dengan seorang penjual jasa jahit pakaian di atas sepeda gerobaknya. Spontan teringat salah satu kegiatan di dalam daftarku yang selalu tertunda untuk kulakukan: memotong celana jeans yang kubeli 2 bulan lalu. Ah, kebetulan fikirku.

Bergegas aku membuka kaca jendela mobil. “Mas, mampir ya ada kerjaan nih,” sapaku cepat seraya memarkir mobil dan bergegas ke dalam rumah untuk mengambil celana jeans-ku dari dalam lemari.

Dua menit kemudian, kusodorkan celana jeans tersebut sembari memulai percakapan standar, “Berapa Mas?”. Sang penjual jasa tersenyum simpatik, “Biasa Pak, cuma lima ngewu,” tukasnya sambil mempersiapkan perangkat produksi jasanya.

Sambil menunggu pekerjaan selesai, kami bercakap-cakap. Kesanku adalah sang penjual jasa jahit ini seorang yang menyadari betul profesinya sebagai penjual jasa, dan sangat mahir melakukan fungsi-fungsi CRM (customer relationship management) dengan versinya sendiri.

“Ya, beginilah Pak, saya ini kan penjual jasa jadi yang penting harus konsisten. Harus mengikuti kemauan yang kasih order jasa. Biasanya kata seorang Ibu langganan saya, mahal seribu nggak masalah asal enak dipakainya,” ceritanya mengalir dengan ramah.

“Juga yang penting kualitas, kalau saya Pak, selesai menjahit saya tungguin, barangkali masih ada yang kurang pas dan mesti dikerjakan ulang. Nggak langsung saya tinggal,” tambahnya lagi spontan. “Dengan begitu orang tetap mau pake jasa saya…”

Suasana menjadi begitu akrab, karena memang sang penjual jasa ini saya kira terlahir dengan karakteristik pribadi yang ramah dan terbuka, dan oleh karenanya sangat gampang mengubah suatu suasana ke dalam “sales mode”.

Pak Mufti, begitulah nama yang ia sebutkan kepadaku. Asal dari desa Kesesi di Pekalongan pelosok. “Saya sudah merantau sejak umur 14 tahun Pak, dulu 12 tahun jadi tukang gerobak sayur di Cileduk. Lalu semenjak peristiwa bakar-bakaran beberapa tahun yang lalu saya kehilangan pekerjaan. Sempat coba jadi tukang becak, Cuma bertahan seminggu, nggak kuat Pak,” kilasnya tentang sejarah keprofesiannya. “Lalu, saya dapat ide untuk usaha jahit seperti ini. Ini mesin saya beli bekas Pak Rp. 30.000, lalu saya perbaiki sendiri.”

Pak Mufti ini memang semenjak kecil sudah punya cita-cita untuk membantu orangtua. Dia rela untuk tidak melanjutkan sekolahnya ke SMP, karena memang sadar posisinya sebagai anak tertua. “Padahal saya dulu waktu SD juara 1 Pak! Sempat dikirim ikut Cerdas-Cermat di kecamatan,” kenangnya.

Pak Mufti, seharinya bisa mendapatkan penghasilan Rp 40,000. Tergantung dari jumlah order yang dating. Satu-satunya cara yang ia lakukan untuk meningkatkan “prospek order” adalah dengan secara konsisten dan regular mengunjungi sudut-sudut komplek perumahan guna mendapatkan “repeat order”.

Saya kira, intensitas “customer visit” yang dilakukan oleh Pak Mufti ini mestinya sangat rutin, karena pengamatannya terhadap kondisi penghuni di komplek perumahan kami sangatlah detail. “Kalau Bapak kan Cuma adannya sabtu minggu ya Pak ?” ungkapnya polos.

Tak terasa celana jeans yang dikerjakan selesai sudah. Pak Mufti bersikeras agar saya mencobanya agar tahu apakah masih perlu dilakukan “re-work” atau tidak. Saya mengikuti saran beliau karena menghargai prinsip-prinsip beliau dalam memastikan kepuasan pelanggan.

Diujung pertemuan kami, saya memahami bahwa salah satu cara agar potensi order makin meningkat adalah dengan memiliki nomor HP yang dapat dihubungi atau untuk menerima sms, sehingga pelanggan beliau dapat dengan mudah memanggilnya untuk sebuah repeat order.

Terima kasih Pak Mufti, atas pelajarannya hari ini.








Thursday 25 October 2007

Nasi Minyak Palembang dan Optional Variant...

Nasi minyak Palembang ini la tekenal nian. Kalau dahulu setiap ada hajat pernikahan, sudah hampir jadi keharusan untuk membuat nasi minyak. Di buat di kuali yang sangat besar, biasanya dari kuningan. Pengaduknya biasanya dari kayu, seukuran dayung perahu.

Namun, kita juga tetap bisa membuatnya dalam porsi kecil saja untuk disantap bersama di rumah. Kami sering melakukannya. Biasanya bumbu-bumbu kami beli di Palembang, termasuk minyak samin-nya. Nikmat rasanya cocok dipadukan dengan lauk Ayam goreng kecap, sambal nanas atau mangga, dan lain-lain.

Bumbu Rempah Umum:
Rempah halus untuk nasi minyak, biasanya sudah dijual dalam bungkus plastik untuk porsi 16 liter beras
Kayu Manis
Kapulaga Hijau (India)
Cengkeh
Minyak Samin
Susu cair
Tomat atau saus tomat
Bumbu dapur dihaluskan seperti bawang merah, bawang putih, bawang bombay, jahe.

Cara membuat:
Bumbu dapur dihaluskan, bisa dengan blender. Lalu ditumis dengan minyak samin, masukkan campuran bumbu rempah. Aron beras dengan tumisan tadi, campurkan susu dan saus tomat.

Setelah beras aronan matang (agak kering), kukus.

Variasi:

  • Tambahkan potongan (dadu) daging kambing tumis, campur kan ke aron beras. (sudah dicoba)
  • Tambahkan Kismis (belum di coba)
  • Sesudah di aron, bungkus daun pisang, jadikan lontong (belum dicoba)
  • Campurkan daging kambing tumis matang, buat jadi pepes dengan daun pisang (belum di coba)
  • Bagaimana kalau bukan pakai beras, tapi beras ketan...lalu dipanggang ?
  • Beras pulen diganti beras brasmati (bulir panjang)
  • Di buat jadi kerak, lalu dimakan
  • Dijadikan rengginang


Foto:


Bumbu rempah, yang merah adalah bumbu siap pakai. Yang kuning adalah minyak samin.


Nasi minyak lagi diaron, sudah dicampur susu dan saus tomat. Versi ini ditambah potongan daging kambing tumis.


Nasi minyak sudah matang. Lihat usulan variasi di atas. Seyogyanya bisa dikembangkan lebih jauh sehigga varian-varian tersebut menambah khasanah makanan khas di Palembang.



Selamat Hari Dokter Temanku! (Teknologi Nano & Bio, Kanker, Dokter Spesialis, MRCCC, Bisnis, Humanis...)

Saya chatting dengan seorang rekan, kebetulan berprofesi sebagi seorang dokter. "Selamat hari dokter indonesia ya...," sapaku melalui media maya. Hari dokter Indonesia jatuh pada tanggal 24 Oktober tiap tahunnya.
"Wah, terima kasih. Saya saja tidak tahu ada hari dokter indonesia," ulasnya balik. Saya sebenarnya iri, kalau saja ada hari Insinyur Indonesia aku mungkin akan selalu mengingatnya dan merayakannya. Ihik.

Ngomong-ngomong soal kedokteran Indonesia, saya jadi teringat sebuah artikel yang pernah saya baca di sebuah majalah bisnis bulanan Globe Asia Magazine (edisi July 2007). Salah seorang pengusaha kakap kelas atas yang sekarang juga mengembangkan sebuah pusat riset berbasis teknologi nano (nanotechnology), mengulas tentang market bisnis pengobatan kanker di Indonesia. Saya yakin jauh dari sekedar bisnis, pengusaha ini juga memiliki visi kemanusiaan yang dalam.

Saya memahami bahwa sesungguhnya lulusan pendidikan kedokteran dari beragam universitas di Indonesia ini adalah sekitar 4000 dokter setiap tahunnya, ini jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan populasi kita (sekarang sekitar 230 juta orang), dengan index kelahiran sekitar 3 juta bayi setiap tahunnya. Dari sudut ilmu ekonomi pasar, bila supply resource kedokteran sangat kecil sedangkan permintaan banyak, maka ongkos pengadaan resource akan menjadi tinggi. Mari lihat situasi ini dari sisi kerangka negara dan kesejahteraan masyarakat di bidang kesehatan...tentunya sangat memprihatinkan.

Juga saya dengar, keluaran pendidikan dokter spesialis juga sangat minim. Apakah memang sedemikian susahnya dan lamanya sistem pendidikan kedokteran di negara kita ini harus mengerami para dokter muda untuk kemudian ditetaskan menjadi dokter spesialis ? Apakah tidak ada "sense of crisis" yang lebih baik dari para profesor di pendidikan kedokteran kita untuk mempercepat proses pendidikan ini guna menghasilkan lulusan yang terdidik, terampil dengan cara yang cepat dan efektif ?

Joke yang pernah dan sering saya dengar adalah "Wah, kalau sekolah dokter spesialis itu sangat susah dan menguras stamina, karena lulusannya bukan sembarangan, gimana kalo nanti asal lulus, bisa banyak orang mati ditangannya ?". Dalam hatiku, "Iya, juga tolong dihitung berapa banyak orang tewas selama menunggu dokter spesialis lulus...".

Lebih jauh lagi mengulas tentang pendapat pengusaha di atas, bahwasanya fasilitas pengobatan kanker di Indonesia masih sangat minim. Dari resource tenaga ahli hanya tersedia sekitar 100 orang dokter spesialis kanker dan 60 orang dokter spesialis syaraf (bandingkan lagi dengan 230 juta populasi penduduk Indonesia). Tanpa mengabaikan adanya fasilitas di RS Kanker Dharmais misalnya, diperkirakan ada lebih dari 300 ribu orang Indonesia yang pergi ke Singapura setiap tahunnya untuk berobat kanker, ini setara dengan biaya pengobatan sekitar 9-10 triliun rupiah setahun! (APBD Provinsi Sumater Selatan saya kira sekitar 2 triliun setahun).

Secara finansial ini merupakan kerugian yang cukup signifikan bagi Indonesia, disamping itu dari sisi kemanusiaan bayangkan apa yang dialami orang-orang yang tidak memiliki kelapangan ekonomi untuk berobat ke luar negeri ? Mereka akan seperti menghitung hari kematiannya saja. Hal ini sangat mengugah diri pengusaha tadi, sebagaiman juga menggugah perasaanku yang terdalam.

Pengusaha tadi adalah Mochtar Riyadi, yang sekarang sedang menggarap MRCCC (Moctar Riyadi Comprehensive Cancer Center) dengan aset sekitar 900 milyar rupiah. Visi beliau adalah menjadikan institut MRCCC ini menjadi solusi humanis bagi masyarakat Indonesia yang menderita penyakit mematikan ini. Basis riset dan teknologi di insitut ini adalah penerapan dan penelitian lebih lanjut tentang aplikasi teknologi nano dan teknologi bio di bidang kedokteran.

Sementara para bos konglomerasi bisnis di Indonesia sibuk terjun ke kancah politik praktis demi kursi presiden, pengusaha di atas dengan tekun dan konsisten memberikan kontribusi kepada bangsa dan negara di bidang lain: bisnis dan humaniora.

Bila kita iri, yuk jadi seperti beliau!

Wednesday 24 October 2007

Sejarah Pempek (1617, Sultan Mahmud Badaruddin II, Inggris Raya, Belanda...)

Berikut ini saya cuplik satu paragraf dari wikipedia tentang sejarah makanan favorit kita ini:

"According to legend, around 1617 there was an old Chinese Man who lived nearby Musi river. He noticed abundant fishes caught by the local fishermen, however this indigenous people did not know how to cook the fishes properly. During that time, most of the indigenous people only fried the fishes instead of adding with some other ingredients to make new dishes. This old Chinese Man began a new alternative by mixing with sago and some other spices. He sold this newly created dish around the village by riding his bicycle. As the indigenous people began to call this old Chinese Man "pek ... apek" ('Apek' is a Chinese slang for an old man), thus the food is known as empek-empek or pempek today"

Bila bercermin dari tahun 1617 ini, saya sendiri agak meragukan penanggalan ini mengingat begitu tepat dan detailnya angka tahun untuk urusan sekedar pencatatan sejarah makanan, pada saat itu Palembang ada pada periode awal Kesultanan Palembang Darussalam.

Dari beberapa referensi sejarah yang saya dapatkan, angka tahun 1617 ini nampaknya merupakan angka tahun yang dicaplok begitu saya untuk urusan penciptaan Pempek. Yang benar terjadi menurut catatan sejarah, pada 1617 Belanda dengan VOC-nya memulai secara resmi hubungan dagang dengan Kesultanan Palembang.

Di beberapa sumber berita on-line (http://www.kompas.com/kesehatan/news/0403/26/062251.htm) bahkan paparan di atas, ditambah lagi dengan keterangan bahwa laki-laki tua dari etnis Cina yang pertama kali membuat Pempek, berumur 65 tahun. Detail sejarah yang kira sangat bias.

Selagi terus surfing ke link-link terkait, maka perhatianku tumpah ruah tentang sejarah Sultan Mahmud Badaruddin II (http://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Mahmud_Badaruddin_II). Lainkali saya akan sumbang tulisan kecil tentang beliau, karena sesungguhnya Kesultanan Palembang Darussalam memiliki posisi kunci dalam perlawanan terhadap politik imperialisme Inggris Raya dan Belanda pada saat itu.

Resep Spesial Teh Rempah (Diadopsi dari Masala Chai)

Rempah:

Kapulaga India (Kapulaga Hijau atau Cardamon) - 1 sendok makan
Butir Cengkeh - 14 butir
Kayu Manis - 4 potong @ 2 cm
Anis Kering (Pekak) - 5 buah
Merica Putih Bubuk - secukupnya
Jahe -- Jempol orang dewasa diiris tipis
Kulit Jeruk Kering -- 3 potong (bila suka)
Vanila Bubuk -- secukupnya

Rebus semua rempah di atas setelah dicampur 3-4 gelas air, didihkan 15 menit lalu kecilkan apinya.
Masukkan 3 sendok teh daun (merah/hitam) atau dapat diganti dengan teh celup 4 bungkus, besarkan api hingga mulai mendidih lalu kecilkan lagi,
diamkan 3-4 menit, lalu siap dihidangkan.

Hidangkan panas, campur dengan susu cair, lalu tambahkan "Brown sugar" atau Palmsuiker.
(Sebaiknya disaring terlebih dahulu agar rempah tidak tercampur ke dalam gelas, ada baiknya 1 atau dua butir kapulaga india dicampurkan sebagai hiasan)

Sunday 21 October 2007

“Oii, gerot dio sekarang Lur, dio tu Kepala Dinas…!”

Aku pulang kampung ke Palembang 3-4 hari di Syawal tahun ini, bersilaturahmi dengan dengan keluarga dan rekan-rekan sepertumbuhan dan sepergaulan. Juga ada acara reuni angkatan 1986 SMAN3 Palembang, dimana rasanya sangat ingin aku hadiri setelah hampir 18 tahun tidak bertemu.

Aku menemukan Palembang bertransformasi menjadi kota metropolis, slogan yang sekarang akrab di telinga setiap penghuni kota tua dan bersejarah ini. Secara fisik, pembangunan infrastruktur sunguh mengesankan. Bangunan menjulang di sana-sini baik hotel dan perkantoran, fasilitas olahraga kelas dunia sudah tak dipungkiri lagi keberadaannya, pusat selebrasi dan hiburan masyarakat dikembangkan, Bandar udara dan laut yang megah dan mendunia, pempek dan kerupuk dikelola secara professional menjadi buah tangan kebanggaan Palembang, Martabak HAR sudah pakai kardus berlogo…hmm, saya kira sudah pas kalau kita katakan kita bertrasformasi menjadi metropolis.

Saya menyempatkan diri berkunjung kesana-kemari, ke rumah kerabat dan kawan-kawan dekat. Yang akhirnya menggugah hatiku adalah pernyataan tipikal yang berkali-kali aku dengar sebagai ulasan dari lawan bicaraku sewaktu aku menanyakan kabar tentang seorang kerabat yang sekarang sedang menikmati kebahagiaan ekonomi: “Oii, gerot dio sekarang Lur, dio tu Kepala Dinas…!”. “Rumahnyo besak nian, mobil bejejer…!”, timpal salah seorang kerabat dengan bangga. “Semenjak dio jadi Kepala Dinas tu lah…sugih nian,” terusnya dengan bersemangat.

Bergemuruhlah dadaku ini menahan kecamuk batin untuk bertanya apakah memang jawaban itu merupakan penjelasan yang kucari dari observasiku terhadap premis “rumah besak, mobil bejejer ?” Ataukah “semenjak menjadi Kepala Dinas…” bisa diterima menjadi kata kunci yang menyelaraskan hubungan sebab-akibat ?

Aku hampir saja terpeleset untuk terus bertanya dan mempertanyakan, namun aku sadar bukankah rasanya diri ini tidaklah berhak untuk tahu lebih jauh, aku bukan siapa-siapa. Lantas siapa yang sepantasnya bergeliat ?

Mestinya yang harus bertanya dan mempertanyakan adalah keluarga mereka sendiri, dimulai dari istri, anak, mertua dan orangtua terus mengalir ke komunitas sekitar yang lebih besar.

Terbayang olehku…seandainya aku pada posisi sedemikian itu, seperti sang Kepala Dinas. Aku ingin istriku tercinta menggugat cerai kepadaku bila ternyata aku tidak mampu menjelaskan asal-usul harta yang kupergunakan untuk membelikannya perhiasan, untuk renovasi rumah atau tambah mobil satu di garasi ! “Ceraikan aku Pak, ceraikan sekarang, tak sudi aku turut menikmati nafkah darimu yang tak jelas juntrungan halal atau tidaknya itu…,” begitu kira-kira kata istriku dalam percakapan imajiner kami.
Ataupun, aku membayangkan anakku protes keras, “Pa, aku mau minggat saja, karena aku curiga dari mana Papa dapat uang buat beli PS3 yang baru ini”.

Merekalah, istri dan anak-anak yang tahu persis penghasilan Bapaknya dan berhak bertanya bila nafkah yang diberikan mencurigakan asal usulnya. Ada hak prerogratif bagi mereka untuk tahu dan merasa nyaman tentang asal-usul sesuatu yang akan mereka nikmati.

Barulah kemudian masyarakat sekitar berhak untuk mencari tahu, karena hakikinya kita tidaklah boleh membiarkan seorang saudara kita terjerembab kedalam jurang kemaksiatan, menikmati yang bukan haknya.

Menjadi Kepala Dinas, bisa jadi bukan serta merta alasan dia menjadi banjir harta karena sesuatu di luar haknya. Bisa jadi, dia memiliki usaha pribadi yang lain yang menghasilkan uang berlimpah untuk memujudkan rumah besak dan mobil bejejer. Bisa jadi juga dia mendapatkan limpahan warisan dari orangtuanya yang dari dulu sudah berlimpah harta. Tapi mari kita jujur, apakah fenomena sang Kepala Dinas ini merupakan hal yang bisa kita anggap tidak mengganggu ?

Di salah satu harian Ibu kota (Kompas, Sabtu 20-10-2007), aku membaca iklan layanan masyarakat dari KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi, begitu menggugah hati. Saya mohon izin kepada KPK untuk menulis ulang teks dalam iklan tersebut di media ini. Insya Allah, sang Kepala Dinas yang kita sebut-sebut dalam tulisan ini bukanlah koruptor, sebagaimana kita adanya.

Selanjutnya, mari takut kepada Allah, sang Rab yang Maha Melihat lagi Maha Mendengar, sedemikian takutnya, setakut-takutnya kita, jauh lebih takut dari takutnya kita kepada KPK.

“Anda Merebut Makanannya”
(dari Iklan KPK, Kompas 20-10-2007)

Saat ANDA korupsi – tak peduli berapa,
Tak peduli dimana, tak peduli dalam
bentuk apa – hakekatnya Anda bukan
mencuri uang Negara saja, tetapi juga
mencuri sesuap nasi dari si kecil lemah ini.
Dana yang Anda sunat, berefek domino.
Berkurang di sini, berkurang di sana,
Mempengaruhi proyek ini, proyek itu.
Dan akhirnya habislah dana untuk
Kesejahteraan si Anak. Insya Allah,
Anda bukan koruptor. Tapi ingat, korupsi
Membunuh anak-anak kita, Jangan
diam saja. Kutuk Para Koruptor. Bantulah
KPK membangun Negara bersih.
Korupsi merampas hak KITA
Untuk hidup sejahtera.
LIHAT, LAWAN, LAPORKAN!

Sunday 14 October 2007

Persis Di Bawah Matahari Jakarta Aku Berjanji

(Juli 1995) - Meminang istri, kini Ibu dari anak-anak kami
---


Dik,
Wangi tubuhmu masih kentara di bajuku hari ini
Karena kita berjalan bersisian tadi pagi
Bicara tentang menanak nasi dan mengajar anak-anak mengaji
Persis di bawah matahari Jakarta yang itu-itu juga

Dik,
Besok hari pagi-pagi sekali
Aku janji temui sang Wali
Kupinang engkau menjadi istri
Tepat sebelum wangi tubuhmu usai hinggap di bajuku hari ini

Kepada Ibu-Ibu Yang Baik

(Dengan segenap keprihatinan terhadap apa-apa yang kini terjadi di sini, walaupun sebenarnya itu tidaklah cukup)
Kampus Ganesha 10, 26 November 1992, 00.20WIB

--------


Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang telah melahirkan bayi yang bukan apa-apa
Yang sekarang menjadi apa-apa
Tapi hendak diapa-apain orang

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang tidak lagi menyusui anaknya semenjak dua tahun
Yang rela untuk tidak lagi mendekap anaknya
Melainkan membiarkan anaknya kedinginan bila hujan tiba
Melainkan membiarkan anak dua tahunnya sesekali digigit nyamuk
Melainkan membiarkan anak dua tahunnya untuk pernah merasakan gelisah bila meriang

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang rela melepas anak lima tahunnya bermain layangan di halaman
Walaupun cemas bila anak lima tahunnya tertusuk paku, tertabrak mobil, atau sekedar tersandung batu

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang rela untuk tidak lagi membelai-belai rambut anak belasan tahunnya
Melainkan membiarkannya berkeringat dan kecapaian

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang tidak lagi menghidangkan ikan goring dan perkedel daging
Melainkan kue ubi dan sayur lodeh
Dan membiarkan anaknya tahu bahwa itu sama lezatnya

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang tidak lagi mengenalkan anaknya hanya pada orang-orang atas
Melainkan juga pada penjual sayur langganannya
Melainkan membiarkan anaknya bergaul dengan orang-orang di pasar dan kaki lima

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang tidak lagi membiasakan anaknya ke kolam renang
Melainkan membiarkan anaknya menentang arus di sungai
Yang tidak lagi membelikan racing car
Melainkan Cuma mobilan plastik lima ratusan

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang selalu bangun pagi, mencuci dan menyeduh kopi
Yang pandai menisik dan menanak nasi
Yang bertelapak tangan kasar karena deterjennya bukanlah anti-lemak

Sekarang di Kampus ini…

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang tidak pernah menulis rindu pada anaknya dalam surat bulanannya
Melainkan selalu berdoa agar anaknya tidak mati karena rindu
Melainkan berbesar hati ketika anaknya tidak pulang ke kampong tiga lebaran belakang

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang tidak pernah menangis dan tidak pernah akan menangis
Membaca berita Koran sore kemarin yang dibaca sore ini
Bahwa anaknya dipaksa mendekam

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang selalu mengurungkan niatnya
Untuk dating ke kampus ini dan menikmati sendiri suasana Bandung yang basah
Melainkan mengirimkan uangnya
Biar anaknya bisa beli buku dan sesekali nonton bioskop

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang cukup membayangkan indahnya Bougenville merah gerbang kampus hanya lewat surat-surat anaknya
Yang melarang anaknya beli baju terus
Melainkan mengirimkan kain sarung dan baju jahitan sendiri

Buk, apa kabar Bapak dan Adik di Kampung?
Sehat-sehat ya Buk

Buk, sekarang banyak orang memaksa kami menangis
Tapi kami tidak mau
Karena Ibukan tidak pernah menangis
Buk, sekarang banyak orang memaksa kami hanyut dalam siraman airnya
Tapi kami tidak mau
Karena dulunya kamipun tidak hanyut di sungai
Buk, sekarang beras putih dikurangi di Kampus kami
Tapi kami tidak mati
Karena dari dulu kami tahu ubi rebus pun sama enaknya
Buk, sekarang ada saja orang mau menawarkan kata dengan bujukan seribu tujuh mainan mahal
Tapi Buk, bukankah hanya dengan mobil plastik lima ratusan kami sudah bahagia dulunya
Buk, sekarang orang-orang bilang: belajar sajalah, jangan jadi apa-apa
Padahal Buk, pernakah kami lalaikan belajar walaupun setiap hari main layangan ?

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang dari dulu-dulu rela dikritik
Kalau ternyata sayur lodehnya kurang asin
Yang selalu bangga akan kemandirian anaknya
Yang tidak pernah cemas karena banyaknya warna yang dikenal anaknya
Melainkan selalu yakin hanyah merah dan putih hati anaknya

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang tidak pernah menginginkan anaknya kembali bayi
Ataupun dianggap bayi
Yang selalu wanti-wanti untuk menjadi kaum penengah dan tidak pongah
Yang selalu jujur pada dirinya sendiri

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang sama baiknya
Dengan Ibu-Ibu di ‘08
Dengan Ibu-Ibu di ‘28
Dengan Ibu-Ibu di ‘48
Dengan Ibu-Ibu di ‘66

Kepada Ibu-Ibu yang tidak pernah menangis
Ketika anaknya terborgol dan terpentungi
Yang sama tegarnya:
Dengan Ibu-Ibu di ‘78
Dengan Ibu-Ibu di ‘89
Dengan Ibu-Ibu di ‘92

Akhirnya,
Buk walaupun tubuhmu sudah tua dan bungkuk
Tapi akan tetap bisa merasa tegak
Karena ternyata dada anaknya sampai kini tetap membusung

Buk, sembah sujud ananda!

Thursday 4 October 2007

Sekantung Terung Bulat Bagi Anak Kita

April 2006,
Rapat Komite Sekolah Tentang Kenaikan Iuran Bulanan
Sebuah SD Negeri di Tangerang

=====


Lantas, masih pantaskan kita bersikukuh bila harga
Pendidikan anak-anak kita setara sekantung terung bulat ?
Yang bisa dibeli setengah harga dan ditawar satu dua rupiah saja.
Masih pantaskan kita bersikeras bila harga
Pendidikan anak-anak kita lebih murah dari pulsa-pulsa seluler yang kita hamburkan setiap hari untuk dukung-dukung kontes nyanyi di televisi ?

Relakah kita bila anak-anak belajar soal-soal salah kaprah
Semata karena sang guru hanya sarapan persoalan dengan segelas kopi pahit tawar?
Sedangkan kita dan anak-anak makan nikmat paket empat dua tiga kali seminggu bila sempat
Belum lagi ongkos hisap batang-batang dua tiga empat yang kita habiskan dalam setiap rapat

Yang benar sajalah...

Lalu bagaimana mungkin kita gantungkan harapan kita pada anak-anak
Untuk melukis impian-impian kita di tujuh atau tujuh belas tahun mendatang
Meneruskan paruh-paruh cerita yang belum kita tuntaskan
Bila kita hanya urus perut sendiri ?

Sementara kita bebankan pintarnya anak-anak kita pada mereka,
Sembari selalu menawar kenaikan uang iuran bulanan ?
Dan tertawa senang bila dapat diskon enam ratus perak

Bila kita juga tetap berteguhdiri dengan naifnya kita,
Coba tanyakan apakah kita sanggup berdiri sebagai mereka...

Thursday 27 September 2007

Tepuklah Bahu Mereka….Kita Bersaudara!

(Salam hangat buat Febry, Fredy, Febriyansyah, Erry, Bang En, Sahala, Melly, Teddy, Menik, Agus Sutikno, Hamdi, Amir…dan seluruh teman di '86 SMAN3 Palembang)

Seminggu yang lalu, hidup penuh hikmah dan renungan. Tentang hakikat persaudaraan dan tumbangnya penyakit-penyakit hati, kesombongan dan iri dengki. Melainkan kasih sayang, keikhlasan dan silaturahmi menggelembung di hati.

Paling tidak itulah perasaanku berhari-hari setelah pertemuanku dengan teman-teman alumni SMAN 3 Palembang. Telah lewat 18 tahun kami menjalani kehidupan pertemanan semenjak lulus SMA, namun rasanya dalam setiap pertemuan kami tidak pernah merasa asing melainkan seperti karibnya orang bersaudara.

Dalam cerita-cerita yang mengalir, aku melihat pancaran rasa saling mengerti, saling memaafkan atas apapun yang mungkin pernah terhadir mengusik hati, bercengkerama tanpa merasa risih, saling mengisi tanpa rasa dengki. Aku merasakan semua itu dalam jabat tangan kami, tatap mata, dan tepukan dibahu.

Begitu indah bukan, bahkan dalam percakapan telpon dengan teman-teman SMA yang bermukim di berbagai kota (kami memang sering bersapa minggu-minggu ini, karena girangnya menyambut reuni 16/09)

Yang lebih mengesankan, Subhanallah, pada saat yang sama aku juga berkesempatan bertemu dengan teman lama semasa SMP, nyata-nyata selama hampir 23 tahun tidak bertemu diberikanlah kami kesempatan untuk kembali bertemu dan menyapa. Rasanya tidak ada yang berbeda, sekali lagi seperti karibnya orang bersaudara.

Bukankan ini indah ?
Bertahun-tahun kami menjalali paruhan hidup masing-masing, diberbagai profesi dan disibukkan oleh pernik-pernik kehidupan yang mungkin berbeda satu-sama lain, di tempat dan waktu yang berbeda, namun akhirnya tetap merasa satu rasa, karib!

Meneteslah airmata dalam hatiku mengenang runtuhnya silaturahmi manusia di banyak tempat – tepian jalur Gaza, Somalia, Irlandia, Yangon, Kashmir, di berbagai kota di Iraq….Manusia menumpahkan darah manusia yang lain dengan mendalihkan berbagai aspek yang susah payah mereka monopoli kebenarannya, apakah itu agama, ras, politik atau sekedar bisnis…

Padahal, bila kita mau membuka hijab di hati, sesungguhnya kita ini bersaudara. Bukankan kita memiliki kakek yang sama ... Ibrahim AS dan Luth AS (sekitar 1800 SM), Nuh AS, Idris AS hingga ke kakek Adam AS ?

Niscaya, kita dan orang-orang sesudah kita membawa sebagian pernik DNA (tepatnya Y-mrca) para leluhur kita tersebut.

Mestinya, haruslah persis sama rasa karib kita bila bertemu seseorang, entah siapa, di Fada-Ngourma (Burkina Faso), Kapiri Mposhi (Zimbabwe), Port Vila (Vanuatu), Salelologa (Samoa), Tokmok (Kyrgystan), Chersky (Rusia) dan puluhan ribu kota lain di dunia ini.

Tepuklah bahu mereka, shake their hand, kita bersaudara!

Further readings:
http://en.wikipedia.org/wiki/Y-chromosomal_Adam
http://news.nationalgeographic.com/news/2002/12/1212_021213_journeyofman.html

Monday 17 September 2007

MSG dan Zat Warna...Musuh Bangsa Setelah Narkoba

Kalau kita perhatikan, banyak sekali anak-anak kita yang mengkonsumsi MSG dan Zat Pewarna buatan melalui jajanan-jajanan yang mereka beli setiap hari, di sekolah, di warung, di supermarket dan lain-lain.

Pokoknya yang gurih itu enak, dan bermodalkan lima ratusan atau satu ribuan, berpindahlah zat kimia tersebut ke dalam sel-sel tubuh anak-anak kita.

Saya menduga, bahwa lima belas atau dua puluh tahun ke depan, nilai gagal hidup dari generasi kita akan meningkat. Kemungkinan besar, penyebab kematian adalah kanker serba serbi.

Dan susahnya kita tidak perduli akan hal ini, karena memang kita belum merasa rugi. Coba kalau semua warga Negara diasuransikan kesehatannya oleh Negara, maka saya kira Negara akan sangat berperan aktif memberangus makanan-makan beracun tersebut.

Bukan hanya narkoba musuh bangsa, saya kira MSG dan zat pewarna juga….

Tuesday 11 September 2007

Ekonomi apakah selaras dengan Kebajikan...Semua Bergantung Niat!

Tulisan ini terinspirasi setelah saya jalan-jalan di dunia maya dan terdampar di beberapa blog yang mengulas tentang perekonomian indonesia dan sekitarnya.
Istilah-istilah dan cara serta sudut pandang juga beragam, contoh sekedar mencuplik dari satu dua artikel yang kubaca...

dari http://sarapanekonomi.blogspot.com/

August 18, 2007 Indonesian economy grows faster

"Almost seven percent in the second quarter this year. If we exclude oil and gas sectors, that is.
Indonesia's economic growth (2002-2007) Indonesia's economy as a whole grows by 6.3%, which is also quite good. But, the slower growth is because oil and gas sectors continue contracting.If this seven percent growth translates into lower unemployment- and poverty rates, all would be very well "

--------------

dari http://mimodjo.blogspot.com/

" Don’t be terrorized by numbers, "The fact is that, despite its mathematical base, statistics is as much an art as it is a science," (Darrell Huff, How to Lie with Statistics).Badan Pusat Statistik mengumumkan jumlah penduduk miskin berkurang, dari 39,30 juta tahun 2006 menjadi 37,17 juta tahun 2007. Artinya, terjadi pengurangan 2,13 juta penduduk miskin atau 1 persen dari total penduduk Indonesia selama satu tahun "

Dan berikut ini adalah pandangan dan pola pikir saya....

Menarik membaca artikel-artikel di blog tersebut.

Juga menyadarkan ku bahwa banyak hal-hal yang masih belum bisa aku cerna dengan mudah. Misalnya dampak nyata dari fenomena-fenomena economy tersebut "real wages, macro-micro economy, trade, inflation, GDP, balanced-budget zealotry etc" bagi pernik-pernik kehidupan keseharian orang-per-orang di masyarakat kita.
Bisa jadi hal-hal tersebut benar-benar menjadi topik pembicaraan "warung kopi" di negara lintang-bujur yang lain, namun mungkin belum terlalu membumi di segmen kebanyakan masyarakat kita.

Aku bertanya-tanya, bagaimanakan para orang-orang yang berprofesi sebagai ekonom tersebut melihat sistem komunitas masyarakat kita. Adakah masyarakat kita dilihat sebagai suatu model matematis, yang direpresentasikan dengan aluran kurva-kurva ? Apakah komunitas masyarakat dipandang sebagai black box dengan parameter input dan output dan beragam parameter lainya seolah suatu sistem kontrol terbuka atau tertutup?

Sekedar membayangkan, bagaimanakah, misalnya, gonjang ganjing krisis submortgage di negara asal kakek Sanders, bisa mempengaruhi kehidupan Mas Joko dan istri penjual tempe mendoan langgananku di pinggir jalan Cipondoh, Poris Plawad ? Atau Mas Endy, pemilik beberapa kedai cukur rambut tradisional di dekat Banjar Wijaya.

Sabtu minggu kemarin sekitar jam 8.00 pagi, aku jemput anakku di sekolah lihat antrian minyak tanah di sebelah kiri jalan, sore hari jam 16.00 selepas pulang dari Pecel Madiun serpong, lewat jalan yang sama, antrian bertambah panjang. Apakah para pembuat keputusan hapal nama-nama orang yang antri minah tersebut ?

Betul adanya, memang hal-hal makro haruslah juga dipikirkan namun terkadang keberpihakan visioner jarang kita temukan berlabuh di kepentingan masyarakat banyak.

Aku berfikir, berapa banyak pebisnis dan pemilik perusahaan di Indonesia ini yang juga menyertakan hitungan trend kenaikan jumlah tabungan buruh mereka selagi membuat planning 5 tahunan industri bisnis mereka ? Jelas, trend kenaikan omzet dan EBIT mestilah ada dalam forecast sheet mereka.

Nampaknya, lumrah bagi para pebisnis dan pemilik perusahaan menargetkan bahwa dalam lima tahun omzet dan EBIT harus meningkat sekian puluh persen, tapi apakah juga lazim bagi mereka menargetkan, misalnya, 5 tahun ke depan semua buruhnya harus punya rumah milik sendiri, harus minimal berpenghasilan sekian puluh juta pertahun per orang, harus punya tabungan sekian juta untuk kelanjutan studi anak-anak mereka dan lain-lain...

Visi bagiku kadang bisa sesederhana kata dasar "niat", niatnya apa kita mendirikan usaha.

Hampir tidak habis pikir beberapa bulan yang lalu mencermati berita bahwa ada sekelompok perusahaan yang menerima kontrak jahit sepatu Nike, akhirnya menyadari bahwa mereka terlalu padat karya, 14,000 buruh ? Niatnya apa merekrut buruh hingga sebanyak itu ? Mensejahterakan mereka kah ? Bukankah, bilangan asli 14,000 juga berawal dari cacahan 1, 10, 250, 1500, 6521, 11200. Mengapa dulunya tidak berhenti di angka 4000 misalnya ? Apakah sudah dipikirkan bahwa kita mampu mengayomi dan memberikan perlindungan penghasilan yang teramankan (secured income) bagi 14,000 mereka ?

Jangan-jangan niat awalnya adalah hanya memperbesar omzet saja.

Belum lagi bila kita menengok program konversi minyak tanah ke gas, tidak segampang itu terlaksana. Bahkan kita juga selalu ingin tahu jangan-jangan yang menjadi daya tarik sesungguhnya adalah proses manufaktur tabung dan kompor gas-nya ?

Jadi sesungguhnya apa makna kata "ekonomi" tersebut bagi kita ? Seyogyanya "ekonomi" adalah sarana untuk kemaslahatan orang banyak, suatu hal yang sesungguhnya sederhana, bila kita berniat begitu.

Monday 10 September 2007

PADA SUATU SAAT, KETIKA MEREKA BERTANYA

Dik Bayangkanlah....
Di beranda rumah, pada saat anak-anak bertanya
--------------------------------------------------------------------------
Belitung-4, 13 Agustus 1995

PADA SUATU SAAT, KETIKA MEREKA BERTANYA

Dan ketika mereka bertanya
Tentang Kerinduan yang membara dan tiada usai

Jawablah...
Karena bagi kita rindu telah me-nafas
Seiring raga, tanpa pernah kita sengajakan

Pada akhirnya, mereka juga terus bertanya
Tentang cinta yang penuh dengan rahmi dan tiada lekang

Jawablah...
Karena bagi kita cinta bukan untuk kita semata
Bahkan adalah warisan kita yang paling berharga buat mereka

Akan tetapi,
Bila mereka kembali bertanya
Apatah cinta kita ialah yang terindah ?

Jawablah: Tidak!
Karena sesungguhnya yang terindah adalah cinta sang Khaliq
kepada kita dan mereka

Sunday 9 September 2007

Bukan Sekedar Kami Berteman

Bukan Sekedar Kami Berteman
(Lintasan rel Yogyakarta Bandung, 9 Juli 1995,
selepas pernikahan Hamdi)

Kami telah berteman dalam menjelajahi waktu
Pada paruhan-paruhan yang mesti kami isi ceritanya
Dari malam ke pagi hingga sore dan kembali ke malam
Menyiasati hari dengan jentera-jentera tawa
Karena, bukankah kehidupan adalah keceriaan yang terlengkap ?

Kami berteman selalu berkumpul
Pada sisi-sisi kami yang menyatukan
Juga pada sisi-sisi kami yang hablur namun tersatukan
Membuat kenangan ke sana ke mari
Mengaitkan banyak cerita sesudahnya

Kami berteman tidaklah berkelompok dengan membuta
Karena kami selalu bertambah seiring lintasan mentari
Pada setiap saatnya,
Dari dua menjadi lima, dari lima ke bilangan sembarang

Kami berteman bukanlah untuk membuat hanya satu jalan
Dan mengakuinya hanya milik kami, bukan petemanan yang lain
Melainkan,
Kami berteman membuka jalan
Bagi apa-apa yang akan ada di ujungnya

Kami berteman berawal dari acak
Lantas membiaskan apa yang tersusun rapi daripadanya
Membangun bongkahan rahmi yang terus membesar

Kami berteman bukanlah untuk memilih
Melainkan memilah dalam kebijakan
Seraya saling menasehati
Dalam menetapi kebenaran dan kesabaran
Selalu menjadi penengah
Yang tidak pernah perlu merasa pongah
Barang sedikitpun…

Karenanya,
Sekarang kami berteman
Agarlah lusa hari
Anank-anak kami pun dapat melanjutkannya
Bukan hanya sekedar mengenang !

Saturday 8 September 2007

Mamamia dan Sejatinya Anak Kita ...Pemenang

Hmm, tak lepasnya hamba yang dhaif ini berpikir dan merenung.
Memuji rahmat Allah yang ternyata sangat banyak dan berlimpah, telah diterima hamba.

---

Kemaren malem selepas kerja, saya dan istri menonton tayangan program "MAMAMIA" di sebuah stasiun televisi swasta. Sebuah program yang azasnya mempertontonkan bagaimana dukungan dan tuntunan dari Seorang Ibu kepada anaknya (gadis) agar mampu melewati elimasi dan menang kontes nyanyi.

Setiap minggu akan ada yang terelimasi menurut penilaian sekitar 100 orang juri internal yang memberikan pilihannya melalui tombol elektronik. Paling tidak ada 1 pasangan Ibu dan anak akan terelimasi, dipilih dari tiga pasangan yang masuk kategori zona tidak aman.

Helmy Yahya, Dani, Latjuba, dan Arzetti adalah pemandu acara dan pemandu impresi penonton di studio dan di rumah.

Banyak keharuan, kesedihan tergambar dalam detik-detik eliminasi ini. Saya kira keadaan sesungguhnya yang kita nantikan bukanlah siapa yang akan menjadi juara, tapi siapa yang tersingkirkan.

Ceritanya, Salah seorang Ibu, Mama Nany dan anaknya Ribka, berada pada posisi tidak aman, menjadi bagian dari 3 pasangan yang berpotensi menjadi korban eliminasi.

Mama Nany begitu mengetahui anaknya Rifka berada pada posisi tidak aman, kelihatan sangat tegang dan hampir tidak dapat mengendalikan kecemasannya. Benar saja pada saat acara belum selesai beliau dibawa ke rumah sakit karena terkena depresi dan kecemasan berlebihan...entah bagaimana kabarnya hari ini.

Nampaknya sang Mama Nany begitu takut anaknya akan menjadi yang "kalah" dan tersingkirkan dan seolah-olah ini akan menjadi akhir segalanya. Boleh jadi Mama Nany menitipkan harapan orang dewasa kepada seorang anak 14 tahunan Rifka, meskipun ini adalah anaknya sendiri.

Bisa jadi Mama Nany sangat tertekan bila mengetahui anaknya kalah...

Kebanyakan kita orang tua mungkin seperti itu, boleh jadi juga akan memarahi anak karena mereka menjadi kalah, kurang pintar, lamban menghitung angka-angka, hanya rangking 27 ke bawah dan lain-lain.

Jangan-jangan bahkan kita pernah meledek mereka, "Hey ngapai belajar, udahlah paling-paling juga dapet 6 lagi..." atau "udahlah ikut sekolah bola, lari aja lambat...nggak bakalan menang larinya..."

Tidaklah pantas kita merendahkan dan menyesali apapun pencapaian anak-anak kita, karena sesungguhnya mereka adalah pemenang. Mereka adalah yang terbaik, tercepat, yang paling tahan terhadap segala rintangan.

Subhanallah!
Bukankan dulu, anak kita adalah salah satu dari sekitar 300 juta -500 juta spema sang Ayah yang berenang cepat menuju indung telur sang Ibu ?
Dan atas kehendak Allah, anak kita itulah yang menjadi pemenang....bayangkan mengalahkan RATUSAN JUTA pesaing-nya !

Dia adalah - atas kehendak Allah - yang tercepat, yang terpintar, yang tergagah!
Hakikinya dia adalah PEMENANG, yang dititipkan oleh Allah kepaa kita, juga sang PEMENANG!

Peluk cium buat anak-anak kita!

Mamamia dan Sejatinya Anak Kita ...Pemenang

Hmm, tak lepasnya hamba yang dhaif ini berpikir dan merenung.
Memuji rahmat Allah yang ternyata sangat banyak dan berlimpah, telah diterima hamba.

---

Kemaren malem selepas kerja, saya dan istri menonton tayangan program "MAMAMIA" di sebuah stasiun televisi swasta. Sebuah program yang azasnya mempertontonkan bagaimana dukungan dan tuntunan dari Seorang Ibu kepada anaknya (gadis) agar mampu melewati elimasi dan menang kontes nyanyi.

Setiap minggu akan ada yang terelimasi menurut penilaian sekitar 100 orang juri internal yang memberikan pilihannya melalui tombol elektronik. Paling tidak ada 1 pasangan Ibu dan anak akan terelimasi, dipilih dari tiga pasangan yang masuk kategori zona tidak aman.

Helmy Yahya (yang ini juga lulusan SMAN 3 Palembang lho...), Dani, Latjuba, dan Arnetti adalah pemandu acara dan pemandu impresi penonton di studio dan di rumah.

Banyak keharuan, kesedihan tergambar dalam detik-detik eliminasi ini. Saya kira keadaan sesungguhnya yang kita nantikan bukanlah siapa yang akan menjadi juara, tapi siapa yang tersingkirkan.

Ceritanya, Salah seorang Ibu, Mama Nany dan anaknya Rifka, berada pada posisi tidak aman, menjadi bagian dari 3 pasangan yang berpotensi menjadi korban eliminasi.

Mama Nany begitu mengetahui anaknya Rifka berada pada posisi tidak aman, kelihatan sangat tegang dan hampir tidak dapat mengendalikan kecemasannya. Benar saja pada saat acara belum selesai beliau dibawa ke rumah sakit karena terkena depresi dan kecemasan berlebihan...entah bagaimana kabarnya hari ini.

Nampaknya sang Mama Nany begitu takut anaknya akan menjadi yang "kalah" dan tersingkirkan dan seolah-olah ini akan menjadi akhir segalanya. Boleh jadi Mama Nany menitipkan harapan orang dewasa kepada seorang anak 14 tahunan Rifka, meskipun ini adalah anaknya sendiri.

Bisa jadi Mama Nany sangat tertekan bila mengetahui anaknya kalah...

Kebanyakan kita orang tua mungkin seperti itu, boleh jadi juga akan memarahi anak karena mereka menjadi kalah, kurang pintar, lamban menghitung angka-angka, hanya rangking 27 ke bawah dan lain-lain.

Jangan-jangan bahkan kita pernah meledek mereka, "Hey ngapai belajar, udahlah paling-paling juga dapet 6 lagi..." atau "udahlah ikut sekolah bola, lari aja lambat...nggak bakalan menang larinya..."

Tidaklah pantas kita merendahkan dan menyesali apapun pencapaian anak-anak kita, karena sesungguhnya mereka adalah pemenang. Mereka adalah yang terbaik, tercepat, yang paling tahan terhadap segala rintangan.

Subhanallah!
Bukankan dulu, anak kita adalah salah satu dari sekitar 300 juta -500 juta spema sang Ayah yang berenang cepat menuju indung telur sang Ibu ?
Dan atas kehendak Allah, anak kita itulah yang menjadi pemenang....bayangkan mengalahkan RATUSAN JUTA pesaing-nya !

Dia adalah - atas kehendak Allah - yang tercepat, yang terpintar, yang tergagah!
Hakikinya dia adalah PEMENANG, yang dititipkan oleh Allah kepaa kita, juga sang PEMENANG!

Peluk cium buat anak-anak kita!

Friday 7 September 2007

MUBA dan Indonesian Idols.....

Terharu aku ndenger cerito Sekayu…Punyo visi nian itu Bupati MUBA. Bukan cuma kato-kato “Gratis”nyo tapi bagaimana dio memanfaatkan posisi tawar daerah otonomi untuk kemajuan rakyat. Aku berharap jugo MUBA jadi contoh bersihnya pemerintahan, kalo bersih…oii banyak duit kito tu! Duit rakyat! Serakyat-rakyatnya….
Jadi ingat kejadian Minggu hari kemarin, aku beserta istri dan 2 anak bejalan ke Mal baru di Gading Serpong Tangerang. Di sano kebetulan INDONESIAN IDOLS lagi pentas, semua peserta finalis 12 uwong hadir termasuk Rini dan Wilson dll. Begitu gemerlap, cantik - gagah - ganteng, di atas pentas.
Ratusan pengunjung mall histeris, termasuk kedua anak 9 dan 7 tahunku. Mereka berjingkrak dan bersemangat sekali….
Disisi lain, aku menyudut dan mulai merasakan perasaan aneh, miris…Aku memang jarang menyaksikan acara pilih-pilih INDONESIAN IDOLS ini di tipi tapi aku tahu sedikit bahwa salah satu sumber pembiayaan acara ini adalah bisnis content provider di mana para voter (jutaan orang INDONESIA) mengirimkan SMS premium ke nomor tertentu, kalau tidak salah Rp 2000/sms, berminggu-minggu, berkali-kali.
Jadilah acara ini sebagai franchise entertainment (world wide), yang menyedot kapital masyarakat, dari kelas bawah sampai atas, dari anak TK sampai Dosen, dari Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak! Namun anehnya, kita tidak merasa keberatan…
Kalo finalis pulang kampung, Bupati/Walikota turut menyambut, rame niah …Rini di Medan, Wilson di Ambon…IDOLS-IDOLS ini juga menikmati fasilitas yang luar biasa, pulang dikawal motor gede polisi lalu lintas ….
Tapi apa return bisnis ini bagi masyarakat ? Tercerabutnya konsep IDOLS bagi anak-anak kita ?
Niscayanya, dana kapital yang beredar informal ini, cenderung tidak produktif dan memicu konsumerisme ikutan seperti menonton show-show mereka, membeli kaset-kaset mereka dan lain-lain. Sebenarnya sih ini sah-sah saja karena hak memeperoleh hiburan yang layak itu juga asasi, sebagaimana asasinya hak anakku untuk beli poster SMACKDOWN dan ditempel dibalik pintunya ….”Emang napa ?” kata anakku Arya dengan logat Tangerang-nya yang kental …
Aku pergi kerja hari ini dengan sejuta perasaan bergelayut, masih memikirkan apa yang aku alami kemarin di Mall. Menjelang makan siang hari ini, aku telpon beberapa teman yang sudah cukup menjabat di beberapa perusahaan yang mungkin beririsan seperti INDOSAT (mestinya lebih tepat SING-SAT), Telkomsel, Cisco dll. Aku mendapatkan ulasan sedikit tentang bagaimana bekerjanya content provider business dll….
Hmm, separuh nafasku rasanya kembali setelah aku menemukan ide yang mungkin ada baiknya diungkapkan di forum ini, walaupun terdengar terlalu eksotis dan idealis.
Kalau saja, kita bisa membuat acara SUMBANGAN - ONLINE SELULER yang menarik minat masyarakat banyak dan mereka menyumbang melalui SMS premium, lalu uangnya kita gunakan untuk kegiatan produktif misal membangun sekolah dasar, renovasi rumah guru, pasang internet di desa-desa, beasiswa dll, mungkin kita bisa mengangkat perekonomian masyarakat
Kalaulah kita bisa mulai dari lingkungan yang kecil, tingat kota, misalnya atau kabupaten dll ?Mungkin kita bisa bangun beberapa gedung SD permanen di daerah terpencil di kampung kita, membiayai anak-anak terpencil untuk terus sekolah, renovasi rumah guru dan lain sebagainya.
Secara teknologi ini mungkin dilakukan, serta juga sangat transparan untuk di audit! Yang penuh tantangan adalah menjadikannya suatu gerakan moral dan materil.
Terpikir olehku, pada saat yang sama kemarin sewaktu anak-anakku berjijingkrak menonton 12 finalis INDONESIAN IDOLS di pentas, apa yang dilakukan oleh anak-anak di sepanjang sungai Lematang ? sepanjang sungai Ogan dan Sungai Kikim ? Di Gelumbang (tempat Atina mengajar?), di Teluk Kijing ? Muara Kelingi ?
Padahal kita harus yakin, anak-anak di sana memiliki hak yang sama untuk menjadi IDOLS-IDOLS di masa depan. Saya yakin itu, akan ada putra-putra Gelumbang yang menjadi tokoh panutan Indonesia !