Pages

Sunday 28 October 2007

Pak Mufti – “Tukang Jahit Berjalan” dari Cipondoh!

Selepas menjemput anakku dari rumah temannya, tepat sebelum menikung ke jalan di depan rumahku, aku berpapasan dengan seorang penjual jasa jahit pakaian di atas sepeda gerobaknya. Spontan teringat salah satu kegiatan di dalam daftarku yang selalu tertunda untuk kulakukan: memotong celana jeans yang kubeli 2 bulan lalu. Ah, kebetulan fikirku.

Bergegas aku membuka kaca jendela mobil. “Mas, mampir ya ada kerjaan nih,” sapaku cepat seraya memarkir mobil dan bergegas ke dalam rumah untuk mengambil celana jeans-ku dari dalam lemari.

Dua menit kemudian, kusodorkan celana jeans tersebut sembari memulai percakapan standar, “Berapa Mas?”. Sang penjual jasa tersenyum simpatik, “Biasa Pak, cuma lima ngewu,” tukasnya sambil mempersiapkan perangkat produksi jasanya.

Sambil menunggu pekerjaan selesai, kami bercakap-cakap. Kesanku adalah sang penjual jasa jahit ini seorang yang menyadari betul profesinya sebagai penjual jasa, dan sangat mahir melakukan fungsi-fungsi CRM (customer relationship management) dengan versinya sendiri.

“Ya, beginilah Pak, saya ini kan penjual jasa jadi yang penting harus konsisten. Harus mengikuti kemauan yang kasih order jasa. Biasanya kata seorang Ibu langganan saya, mahal seribu nggak masalah asal enak dipakainya,” ceritanya mengalir dengan ramah.

“Juga yang penting kualitas, kalau saya Pak, selesai menjahit saya tungguin, barangkali masih ada yang kurang pas dan mesti dikerjakan ulang. Nggak langsung saya tinggal,” tambahnya lagi spontan. “Dengan begitu orang tetap mau pake jasa saya…”

Suasana menjadi begitu akrab, karena memang sang penjual jasa ini saya kira terlahir dengan karakteristik pribadi yang ramah dan terbuka, dan oleh karenanya sangat gampang mengubah suatu suasana ke dalam “sales mode”.

Pak Mufti, begitulah nama yang ia sebutkan kepadaku. Asal dari desa Kesesi di Pekalongan pelosok. “Saya sudah merantau sejak umur 14 tahun Pak, dulu 12 tahun jadi tukang gerobak sayur di Cileduk. Lalu semenjak peristiwa bakar-bakaran beberapa tahun yang lalu saya kehilangan pekerjaan. Sempat coba jadi tukang becak, Cuma bertahan seminggu, nggak kuat Pak,” kilasnya tentang sejarah keprofesiannya. “Lalu, saya dapat ide untuk usaha jahit seperti ini. Ini mesin saya beli bekas Pak Rp. 30.000, lalu saya perbaiki sendiri.”

Pak Mufti ini memang semenjak kecil sudah punya cita-cita untuk membantu orangtua. Dia rela untuk tidak melanjutkan sekolahnya ke SMP, karena memang sadar posisinya sebagai anak tertua. “Padahal saya dulu waktu SD juara 1 Pak! Sempat dikirim ikut Cerdas-Cermat di kecamatan,” kenangnya.

Pak Mufti, seharinya bisa mendapatkan penghasilan Rp 40,000. Tergantung dari jumlah order yang dating. Satu-satunya cara yang ia lakukan untuk meningkatkan “prospek order” adalah dengan secara konsisten dan regular mengunjungi sudut-sudut komplek perumahan guna mendapatkan “repeat order”.

Saya kira, intensitas “customer visit” yang dilakukan oleh Pak Mufti ini mestinya sangat rutin, karena pengamatannya terhadap kondisi penghuni di komplek perumahan kami sangatlah detail. “Kalau Bapak kan Cuma adannya sabtu minggu ya Pak ?” ungkapnya polos.

Tak terasa celana jeans yang dikerjakan selesai sudah. Pak Mufti bersikeras agar saya mencobanya agar tahu apakah masih perlu dilakukan “re-work” atau tidak. Saya mengikuti saran beliau karena menghargai prinsip-prinsip beliau dalam memastikan kepuasan pelanggan.

Diujung pertemuan kami, saya memahami bahwa salah satu cara agar potensi order makin meningkat adalah dengan memiliki nomor HP yang dapat dihubungi atau untuk menerima sms, sehingga pelanggan beliau dapat dengan mudah memanggilnya untuk sebuah repeat order.

Terima kasih Pak Mufti, atas pelajarannya hari ini.








Thursday 25 October 2007

Nasi Minyak Palembang dan Optional Variant...

Nasi minyak Palembang ini la tekenal nian. Kalau dahulu setiap ada hajat pernikahan, sudah hampir jadi keharusan untuk membuat nasi minyak. Di buat di kuali yang sangat besar, biasanya dari kuningan. Pengaduknya biasanya dari kayu, seukuran dayung perahu.

Namun, kita juga tetap bisa membuatnya dalam porsi kecil saja untuk disantap bersama di rumah. Kami sering melakukannya. Biasanya bumbu-bumbu kami beli di Palembang, termasuk minyak samin-nya. Nikmat rasanya cocok dipadukan dengan lauk Ayam goreng kecap, sambal nanas atau mangga, dan lain-lain.

Bumbu Rempah Umum:
Rempah halus untuk nasi minyak, biasanya sudah dijual dalam bungkus plastik untuk porsi 16 liter beras
Kayu Manis
Kapulaga Hijau (India)
Cengkeh
Minyak Samin
Susu cair
Tomat atau saus tomat
Bumbu dapur dihaluskan seperti bawang merah, bawang putih, bawang bombay, jahe.

Cara membuat:
Bumbu dapur dihaluskan, bisa dengan blender. Lalu ditumis dengan minyak samin, masukkan campuran bumbu rempah. Aron beras dengan tumisan tadi, campurkan susu dan saus tomat.

Setelah beras aronan matang (agak kering), kukus.

Variasi:

  • Tambahkan potongan (dadu) daging kambing tumis, campur kan ke aron beras. (sudah dicoba)
  • Tambahkan Kismis (belum di coba)
  • Sesudah di aron, bungkus daun pisang, jadikan lontong (belum dicoba)
  • Campurkan daging kambing tumis matang, buat jadi pepes dengan daun pisang (belum di coba)
  • Bagaimana kalau bukan pakai beras, tapi beras ketan...lalu dipanggang ?
  • Beras pulen diganti beras brasmati (bulir panjang)
  • Di buat jadi kerak, lalu dimakan
  • Dijadikan rengginang


Foto:


Bumbu rempah, yang merah adalah bumbu siap pakai. Yang kuning adalah minyak samin.


Nasi minyak lagi diaron, sudah dicampur susu dan saus tomat. Versi ini ditambah potongan daging kambing tumis.


Nasi minyak sudah matang. Lihat usulan variasi di atas. Seyogyanya bisa dikembangkan lebih jauh sehigga varian-varian tersebut menambah khasanah makanan khas di Palembang.



Selamat Hari Dokter Temanku! (Teknologi Nano & Bio, Kanker, Dokter Spesialis, MRCCC, Bisnis, Humanis...)

Saya chatting dengan seorang rekan, kebetulan berprofesi sebagi seorang dokter. "Selamat hari dokter indonesia ya...," sapaku melalui media maya. Hari dokter Indonesia jatuh pada tanggal 24 Oktober tiap tahunnya.
"Wah, terima kasih. Saya saja tidak tahu ada hari dokter indonesia," ulasnya balik. Saya sebenarnya iri, kalau saja ada hari Insinyur Indonesia aku mungkin akan selalu mengingatnya dan merayakannya. Ihik.

Ngomong-ngomong soal kedokteran Indonesia, saya jadi teringat sebuah artikel yang pernah saya baca di sebuah majalah bisnis bulanan Globe Asia Magazine (edisi July 2007). Salah seorang pengusaha kakap kelas atas yang sekarang juga mengembangkan sebuah pusat riset berbasis teknologi nano (nanotechnology), mengulas tentang market bisnis pengobatan kanker di Indonesia. Saya yakin jauh dari sekedar bisnis, pengusaha ini juga memiliki visi kemanusiaan yang dalam.

Saya memahami bahwa sesungguhnya lulusan pendidikan kedokteran dari beragam universitas di Indonesia ini adalah sekitar 4000 dokter setiap tahunnya, ini jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan populasi kita (sekarang sekitar 230 juta orang), dengan index kelahiran sekitar 3 juta bayi setiap tahunnya. Dari sudut ilmu ekonomi pasar, bila supply resource kedokteran sangat kecil sedangkan permintaan banyak, maka ongkos pengadaan resource akan menjadi tinggi. Mari lihat situasi ini dari sisi kerangka negara dan kesejahteraan masyarakat di bidang kesehatan...tentunya sangat memprihatinkan.

Juga saya dengar, keluaran pendidikan dokter spesialis juga sangat minim. Apakah memang sedemikian susahnya dan lamanya sistem pendidikan kedokteran di negara kita ini harus mengerami para dokter muda untuk kemudian ditetaskan menjadi dokter spesialis ? Apakah tidak ada "sense of crisis" yang lebih baik dari para profesor di pendidikan kedokteran kita untuk mempercepat proses pendidikan ini guna menghasilkan lulusan yang terdidik, terampil dengan cara yang cepat dan efektif ?

Joke yang pernah dan sering saya dengar adalah "Wah, kalau sekolah dokter spesialis itu sangat susah dan menguras stamina, karena lulusannya bukan sembarangan, gimana kalo nanti asal lulus, bisa banyak orang mati ditangannya ?". Dalam hatiku, "Iya, juga tolong dihitung berapa banyak orang tewas selama menunggu dokter spesialis lulus...".

Lebih jauh lagi mengulas tentang pendapat pengusaha di atas, bahwasanya fasilitas pengobatan kanker di Indonesia masih sangat minim. Dari resource tenaga ahli hanya tersedia sekitar 100 orang dokter spesialis kanker dan 60 orang dokter spesialis syaraf (bandingkan lagi dengan 230 juta populasi penduduk Indonesia). Tanpa mengabaikan adanya fasilitas di RS Kanker Dharmais misalnya, diperkirakan ada lebih dari 300 ribu orang Indonesia yang pergi ke Singapura setiap tahunnya untuk berobat kanker, ini setara dengan biaya pengobatan sekitar 9-10 triliun rupiah setahun! (APBD Provinsi Sumater Selatan saya kira sekitar 2 triliun setahun).

Secara finansial ini merupakan kerugian yang cukup signifikan bagi Indonesia, disamping itu dari sisi kemanusiaan bayangkan apa yang dialami orang-orang yang tidak memiliki kelapangan ekonomi untuk berobat ke luar negeri ? Mereka akan seperti menghitung hari kematiannya saja. Hal ini sangat mengugah diri pengusaha tadi, sebagaiman juga menggugah perasaanku yang terdalam.

Pengusaha tadi adalah Mochtar Riyadi, yang sekarang sedang menggarap MRCCC (Moctar Riyadi Comprehensive Cancer Center) dengan aset sekitar 900 milyar rupiah. Visi beliau adalah menjadikan institut MRCCC ini menjadi solusi humanis bagi masyarakat Indonesia yang menderita penyakit mematikan ini. Basis riset dan teknologi di insitut ini adalah penerapan dan penelitian lebih lanjut tentang aplikasi teknologi nano dan teknologi bio di bidang kedokteran.

Sementara para bos konglomerasi bisnis di Indonesia sibuk terjun ke kancah politik praktis demi kursi presiden, pengusaha di atas dengan tekun dan konsisten memberikan kontribusi kepada bangsa dan negara di bidang lain: bisnis dan humaniora.

Bila kita iri, yuk jadi seperti beliau!

Wednesday 24 October 2007

Sejarah Pempek (1617, Sultan Mahmud Badaruddin II, Inggris Raya, Belanda...)

Berikut ini saya cuplik satu paragraf dari wikipedia tentang sejarah makanan favorit kita ini:

"According to legend, around 1617 there was an old Chinese Man who lived nearby Musi river. He noticed abundant fishes caught by the local fishermen, however this indigenous people did not know how to cook the fishes properly. During that time, most of the indigenous people only fried the fishes instead of adding with some other ingredients to make new dishes. This old Chinese Man began a new alternative by mixing with sago and some other spices. He sold this newly created dish around the village by riding his bicycle. As the indigenous people began to call this old Chinese Man "pek ... apek" ('Apek' is a Chinese slang for an old man), thus the food is known as empek-empek or pempek today"

Bila bercermin dari tahun 1617 ini, saya sendiri agak meragukan penanggalan ini mengingat begitu tepat dan detailnya angka tahun untuk urusan sekedar pencatatan sejarah makanan, pada saat itu Palembang ada pada periode awal Kesultanan Palembang Darussalam.

Dari beberapa referensi sejarah yang saya dapatkan, angka tahun 1617 ini nampaknya merupakan angka tahun yang dicaplok begitu saya untuk urusan penciptaan Pempek. Yang benar terjadi menurut catatan sejarah, pada 1617 Belanda dengan VOC-nya memulai secara resmi hubungan dagang dengan Kesultanan Palembang.

Di beberapa sumber berita on-line (http://www.kompas.com/kesehatan/news/0403/26/062251.htm) bahkan paparan di atas, ditambah lagi dengan keterangan bahwa laki-laki tua dari etnis Cina yang pertama kali membuat Pempek, berumur 65 tahun. Detail sejarah yang kira sangat bias.

Selagi terus surfing ke link-link terkait, maka perhatianku tumpah ruah tentang sejarah Sultan Mahmud Badaruddin II (http://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Mahmud_Badaruddin_II). Lainkali saya akan sumbang tulisan kecil tentang beliau, karena sesungguhnya Kesultanan Palembang Darussalam memiliki posisi kunci dalam perlawanan terhadap politik imperialisme Inggris Raya dan Belanda pada saat itu.

Resep Spesial Teh Rempah (Diadopsi dari Masala Chai)

Rempah:

Kapulaga India (Kapulaga Hijau atau Cardamon) - 1 sendok makan
Butir Cengkeh - 14 butir
Kayu Manis - 4 potong @ 2 cm
Anis Kering (Pekak) - 5 buah
Merica Putih Bubuk - secukupnya
Jahe -- Jempol orang dewasa diiris tipis
Kulit Jeruk Kering -- 3 potong (bila suka)
Vanila Bubuk -- secukupnya

Rebus semua rempah di atas setelah dicampur 3-4 gelas air, didihkan 15 menit lalu kecilkan apinya.
Masukkan 3 sendok teh daun (merah/hitam) atau dapat diganti dengan teh celup 4 bungkus, besarkan api hingga mulai mendidih lalu kecilkan lagi,
diamkan 3-4 menit, lalu siap dihidangkan.

Hidangkan panas, campur dengan susu cair, lalu tambahkan "Brown sugar" atau Palmsuiker.
(Sebaiknya disaring terlebih dahulu agar rempah tidak tercampur ke dalam gelas, ada baiknya 1 atau dua butir kapulaga india dicampurkan sebagai hiasan)

Sunday 21 October 2007

“Oii, gerot dio sekarang Lur, dio tu Kepala Dinas…!”

Aku pulang kampung ke Palembang 3-4 hari di Syawal tahun ini, bersilaturahmi dengan dengan keluarga dan rekan-rekan sepertumbuhan dan sepergaulan. Juga ada acara reuni angkatan 1986 SMAN3 Palembang, dimana rasanya sangat ingin aku hadiri setelah hampir 18 tahun tidak bertemu.

Aku menemukan Palembang bertransformasi menjadi kota metropolis, slogan yang sekarang akrab di telinga setiap penghuni kota tua dan bersejarah ini. Secara fisik, pembangunan infrastruktur sunguh mengesankan. Bangunan menjulang di sana-sini baik hotel dan perkantoran, fasilitas olahraga kelas dunia sudah tak dipungkiri lagi keberadaannya, pusat selebrasi dan hiburan masyarakat dikembangkan, Bandar udara dan laut yang megah dan mendunia, pempek dan kerupuk dikelola secara professional menjadi buah tangan kebanggaan Palembang, Martabak HAR sudah pakai kardus berlogo…hmm, saya kira sudah pas kalau kita katakan kita bertrasformasi menjadi metropolis.

Saya menyempatkan diri berkunjung kesana-kemari, ke rumah kerabat dan kawan-kawan dekat. Yang akhirnya menggugah hatiku adalah pernyataan tipikal yang berkali-kali aku dengar sebagai ulasan dari lawan bicaraku sewaktu aku menanyakan kabar tentang seorang kerabat yang sekarang sedang menikmati kebahagiaan ekonomi: “Oii, gerot dio sekarang Lur, dio tu Kepala Dinas…!”. “Rumahnyo besak nian, mobil bejejer…!”, timpal salah seorang kerabat dengan bangga. “Semenjak dio jadi Kepala Dinas tu lah…sugih nian,” terusnya dengan bersemangat.

Bergemuruhlah dadaku ini menahan kecamuk batin untuk bertanya apakah memang jawaban itu merupakan penjelasan yang kucari dari observasiku terhadap premis “rumah besak, mobil bejejer ?” Ataukah “semenjak menjadi Kepala Dinas…” bisa diterima menjadi kata kunci yang menyelaraskan hubungan sebab-akibat ?

Aku hampir saja terpeleset untuk terus bertanya dan mempertanyakan, namun aku sadar bukankah rasanya diri ini tidaklah berhak untuk tahu lebih jauh, aku bukan siapa-siapa. Lantas siapa yang sepantasnya bergeliat ?

Mestinya yang harus bertanya dan mempertanyakan adalah keluarga mereka sendiri, dimulai dari istri, anak, mertua dan orangtua terus mengalir ke komunitas sekitar yang lebih besar.

Terbayang olehku…seandainya aku pada posisi sedemikian itu, seperti sang Kepala Dinas. Aku ingin istriku tercinta menggugat cerai kepadaku bila ternyata aku tidak mampu menjelaskan asal-usul harta yang kupergunakan untuk membelikannya perhiasan, untuk renovasi rumah atau tambah mobil satu di garasi ! “Ceraikan aku Pak, ceraikan sekarang, tak sudi aku turut menikmati nafkah darimu yang tak jelas juntrungan halal atau tidaknya itu…,” begitu kira-kira kata istriku dalam percakapan imajiner kami.
Ataupun, aku membayangkan anakku protes keras, “Pa, aku mau minggat saja, karena aku curiga dari mana Papa dapat uang buat beli PS3 yang baru ini”.

Merekalah, istri dan anak-anak yang tahu persis penghasilan Bapaknya dan berhak bertanya bila nafkah yang diberikan mencurigakan asal usulnya. Ada hak prerogratif bagi mereka untuk tahu dan merasa nyaman tentang asal-usul sesuatu yang akan mereka nikmati.

Barulah kemudian masyarakat sekitar berhak untuk mencari tahu, karena hakikinya kita tidaklah boleh membiarkan seorang saudara kita terjerembab kedalam jurang kemaksiatan, menikmati yang bukan haknya.

Menjadi Kepala Dinas, bisa jadi bukan serta merta alasan dia menjadi banjir harta karena sesuatu di luar haknya. Bisa jadi, dia memiliki usaha pribadi yang lain yang menghasilkan uang berlimpah untuk memujudkan rumah besak dan mobil bejejer. Bisa jadi juga dia mendapatkan limpahan warisan dari orangtuanya yang dari dulu sudah berlimpah harta. Tapi mari kita jujur, apakah fenomena sang Kepala Dinas ini merupakan hal yang bisa kita anggap tidak mengganggu ?

Di salah satu harian Ibu kota (Kompas, Sabtu 20-10-2007), aku membaca iklan layanan masyarakat dari KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi, begitu menggugah hati. Saya mohon izin kepada KPK untuk menulis ulang teks dalam iklan tersebut di media ini. Insya Allah, sang Kepala Dinas yang kita sebut-sebut dalam tulisan ini bukanlah koruptor, sebagaimana kita adanya.

Selanjutnya, mari takut kepada Allah, sang Rab yang Maha Melihat lagi Maha Mendengar, sedemikian takutnya, setakut-takutnya kita, jauh lebih takut dari takutnya kita kepada KPK.

“Anda Merebut Makanannya”
(dari Iklan KPK, Kompas 20-10-2007)

Saat ANDA korupsi – tak peduli berapa,
Tak peduli dimana, tak peduli dalam
bentuk apa – hakekatnya Anda bukan
mencuri uang Negara saja, tetapi juga
mencuri sesuap nasi dari si kecil lemah ini.
Dana yang Anda sunat, berefek domino.
Berkurang di sini, berkurang di sana,
Mempengaruhi proyek ini, proyek itu.
Dan akhirnya habislah dana untuk
Kesejahteraan si Anak. Insya Allah,
Anda bukan koruptor. Tapi ingat, korupsi
Membunuh anak-anak kita, Jangan
diam saja. Kutuk Para Koruptor. Bantulah
KPK membangun Negara bersih.
Korupsi merampas hak KITA
Untuk hidup sejahtera.
LIHAT, LAWAN, LAPORKAN!

Sunday 14 October 2007

Persis Di Bawah Matahari Jakarta Aku Berjanji

(Juli 1995) - Meminang istri, kini Ibu dari anak-anak kami
---


Dik,
Wangi tubuhmu masih kentara di bajuku hari ini
Karena kita berjalan bersisian tadi pagi
Bicara tentang menanak nasi dan mengajar anak-anak mengaji
Persis di bawah matahari Jakarta yang itu-itu juga

Dik,
Besok hari pagi-pagi sekali
Aku janji temui sang Wali
Kupinang engkau menjadi istri
Tepat sebelum wangi tubuhmu usai hinggap di bajuku hari ini

Kepada Ibu-Ibu Yang Baik

(Dengan segenap keprihatinan terhadap apa-apa yang kini terjadi di sini, walaupun sebenarnya itu tidaklah cukup)
Kampus Ganesha 10, 26 November 1992, 00.20WIB

--------


Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang telah melahirkan bayi yang bukan apa-apa
Yang sekarang menjadi apa-apa
Tapi hendak diapa-apain orang

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang tidak lagi menyusui anaknya semenjak dua tahun
Yang rela untuk tidak lagi mendekap anaknya
Melainkan membiarkan anaknya kedinginan bila hujan tiba
Melainkan membiarkan anak dua tahunnya sesekali digigit nyamuk
Melainkan membiarkan anak dua tahunnya untuk pernah merasakan gelisah bila meriang

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang rela melepas anak lima tahunnya bermain layangan di halaman
Walaupun cemas bila anak lima tahunnya tertusuk paku, tertabrak mobil, atau sekedar tersandung batu

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang rela untuk tidak lagi membelai-belai rambut anak belasan tahunnya
Melainkan membiarkannya berkeringat dan kecapaian

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang tidak lagi menghidangkan ikan goring dan perkedel daging
Melainkan kue ubi dan sayur lodeh
Dan membiarkan anaknya tahu bahwa itu sama lezatnya

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang tidak lagi mengenalkan anaknya hanya pada orang-orang atas
Melainkan juga pada penjual sayur langganannya
Melainkan membiarkan anaknya bergaul dengan orang-orang di pasar dan kaki lima

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang tidak lagi membiasakan anaknya ke kolam renang
Melainkan membiarkan anaknya menentang arus di sungai
Yang tidak lagi membelikan racing car
Melainkan Cuma mobilan plastik lima ratusan

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang selalu bangun pagi, mencuci dan menyeduh kopi
Yang pandai menisik dan menanak nasi
Yang bertelapak tangan kasar karena deterjennya bukanlah anti-lemak

Sekarang di Kampus ini…

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang tidak pernah menulis rindu pada anaknya dalam surat bulanannya
Melainkan selalu berdoa agar anaknya tidak mati karena rindu
Melainkan berbesar hati ketika anaknya tidak pulang ke kampong tiga lebaran belakang

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang tidak pernah menangis dan tidak pernah akan menangis
Membaca berita Koran sore kemarin yang dibaca sore ini
Bahwa anaknya dipaksa mendekam

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang selalu mengurungkan niatnya
Untuk dating ke kampus ini dan menikmati sendiri suasana Bandung yang basah
Melainkan mengirimkan uangnya
Biar anaknya bisa beli buku dan sesekali nonton bioskop

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang cukup membayangkan indahnya Bougenville merah gerbang kampus hanya lewat surat-surat anaknya
Yang melarang anaknya beli baju terus
Melainkan mengirimkan kain sarung dan baju jahitan sendiri

Buk, apa kabar Bapak dan Adik di Kampung?
Sehat-sehat ya Buk

Buk, sekarang banyak orang memaksa kami menangis
Tapi kami tidak mau
Karena Ibukan tidak pernah menangis
Buk, sekarang banyak orang memaksa kami hanyut dalam siraman airnya
Tapi kami tidak mau
Karena dulunya kamipun tidak hanyut di sungai
Buk, sekarang beras putih dikurangi di Kampus kami
Tapi kami tidak mati
Karena dari dulu kami tahu ubi rebus pun sama enaknya
Buk, sekarang ada saja orang mau menawarkan kata dengan bujukan seribu tujuh mainan mahal
Tapi Buk, bukankah hanya dengan mobil plastik lima ratusan kami sudah bahagia dulunya
Buk, sekarang orang-orang bilang: belajar sajalah, jangan jadi apa-apa
Padahal Buk, pernakah kami lalaikan belajar walaupun setiap hari main layangan ?

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang dari dulu-dulu rela dikritik
Kalau ternyata sayur lodehnya kurang asin
Yang selalu bangga akan kemandirian anaknya
Yang tidak pernah cemas karena banyaknya warna yang dikenal anaknya
Melainkan selalu yakin hanyah merah dan putih hati anaknya

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang tidak pernah menginginkan anaknya kembali bayi
Ataupun dianggap bayi
Yang selalu wanti-wanti untuk menjadi kaum penengah dan tidak pongah
Yang selalu jujur pada dirinya sendiri

Kepada Ibu-Ibu yang baik
Yang sama baiknya
Dengan Ibu-Ibu di ‘08
Dengan Ibu-Ibu di ‘28
Dengan Ibu-Ibu di ‘48
Dengan Ibu-Ibu di ‘66

Kepada Ibu-Ibu yang tidak pernah menangis
Ketika anaknya terborgol dan terpentungi
Yang sama tegarnya:
Dengan Ibu-Ibu di ‘78
Dengan Ibu-Ibu di ‘89
Dengan Ibu-Ibu di ‘92

Akhirnya,
Buk walaupun tubuhmu sudah tua dan bungkuk
Tapi akan tetap bisa merasa tegak
Karena ternyata dada anaknya sampai kini tetap membusung

Buk, sembah sujud ananda!

Thursday 4 October 2007

Sekantung Terung Bulat Bagi Anak Kita

April 2006,
Rapat Komite Sekolah Tentang Kenaikan Iuran Bulanan
Sebuah SD Negeri di Tangerang

=====


Lantas, masih pantaskan kita bersikukuh bila harga
Pendidikan anak-anak kita setara sekantung terung bulat ?
Yang bisa dibeli setengah harga dan ditawar satu dua rupiah saja.
Masih pantaskan kita bersikeras bila harga
Pendidikan anak-anak kita lebih murah dari pulsa-pulsa seluler yang kita hamburkan setiap hari untuk dukung-dukung kontes nyanyi di televisi ?

Relakah kita bila anak-anak belajar soal-soal salah kaprah
Semata karena sang guru hanya sarapan persoalan dengan segelas kopi pahit tawar?
Sedangkan kita dan anak-anak makan nikmat paket empat dua tiga kali seminggu bila sempat
Belum lagi ongkos hisap batang-batang dua tiga empat yang kita habiskan dalam setiap rapat

Yang benar sajalah...

Lalu bagaimana mungkin kita gantungkan harapan kita pada anak-anak
Untuk melukis impian-impian kita di tujuh atau tujuh belas tahun mendatang
Meneruskan paruh-paruh cerita yang belum kita tuntaskan
Bila kita hanya urus perut sendiri ?

Sementara kita bebankan pintarnya anak-anak kita pada mereka,
Sembari selalu menawar kenaikan uang iuran bulanan ?
Dan tertawa senang bila dapat diskon enam ratus perak

Bila kita juga tetap berteguhdiri dengan naifnya kita,
Coba tanyakan apakah kita sanggup berdiri sebagai mereka...