Pages

Thursday 27 September 2007

Tepuklah Bahu Mereka….Kita Bersaudara!

(Salam hangat buat Febry, Fredy, Febriyansyah, Erry, Bang En, Sahala, Melly, Teddy, Menik, Agus Sutikno, Hamdi, Amir…dan seluruh teman di '86 SMAN3 Palembang)

Seminggu yang lalu, hidup penuh hikmah dan renungan. Tentang hakikat persaudaraan dan tumbangnya penyakit-penyakit hati, kesombongan dan iri dengki. Melainkan kasih sayang, keikhlasan dan silaturahmi menggelembung di hati.

Paling tidak itulah perasaanku berhari-hari setelah pertemuanku dengan teman-teman alumni SMAN 3 Palembang. Telah lewat 18 tahun kami menjalani kehidupan pertemanan semenjak lulus SMA, namun rasanya dalam setiap pertemuan kami tidak pernah merasa asing melainkan seperti karibnya orang bersaudara.

Dalam cerita-cerita yang mengalir, aku melihat pancaran rasa saling mengerti, saling memaafkan atas apapun yang mungkin pernah terhadir mengusik hati, bercengkerama tanpa merasa risih, saling mengisi tanpa rasa dengki. Aku merasakan semua itu dalam jabat tangan kami, tatap mata, dan tepukan dibahu.

Begitu indah bukan, bahkan dalam percakapan telpon dengan teman-teman SMA yang bermukim di berbagai kota (kami memang sering bersapa minggu-minggu ini, karena girangnya menyambut reuni 16/09)

Yang lebih mengesankan, Subhanallah, pada saat yang sama aku juga berkesempatan bertemu dengan teman lama semasa SMP, nyata-nyata selama hampir 23 tahun tidak bertemu diberikanlah kami kesempatan untuk kembali bertemu dan menyapa. Rasanya tidak ada yang berbeda, sekali lagi seperti karibnya orang bersaudara.

Bukankan ini indah ?
Bertahun-tahun kami menjalali paruhan hidup masing-masing, diberbagai profesi dan disibukkan oleh pernik-pernik kehidupan yang mungkin berbeda satu-sama lain, di tempat dan waktu yang berbeda, namun akhirnya tetap merasa satu rasa, karib!

Meneteslah airmata dalam hatiku mengenang runtuhnya silaturahmi manusia di banyak tempat – tepian jalur Gaza, Somalia, Irlandia, Yangon, Kashmir, di berbagai kota di Iraq….Manusia menumpahkan darah manusia yang lain dengan mendalihkan berbagai aspek yang susah payah mereka monopoli kebenarannya, apakah itu agama, ras, politik atau sekedar bisnis…

Padahal, bila kita mau membuka hijab di hati, sesungguhnya kita ini bersaudara. Bukankan kita memiliki kakek yang sama ... Ibrahim AS dan Luth AS (sekitar 1800 SM), Nuh AS, Idris AS hingga ke kakek Adam AS ?

Niscaya, kita dan orang-orang sesudah kita membawa sebagian pernik DNA (tepatnya Y-mrca) para leluhur kita tersebut.

Mestinya, haruslah persis sama rasa karib kita bila bertemu seseorang, entah siapa, di Fada-Ngourma (Burkina Faso), Kapiri Mposhi (Zimbabwe), Port Vila (Vanuatu), Salelologa (Samoa), Tokmok (Kyrgystan), Chersky (Rusia) dan puluhan ribu kota lain di dunia ini.

Tepuklah bahu mereka, shake their hand, kita bersaudara!

Further readings:
http://en.wikipedia.org/wiki/Y-chromosomal_Adam
http://news.nationalgeographic.com/news/2002/12/1212_021213_journeyofman.html

Monday 17 September 2007

MSG dan Zat Warna...Musuh Bangsa Setelah Narkoba

Kalau kita perhatikan, banyak sekali anak-anak kita yang mengkonsumsi MSG dan Zat Pewarna buatan melalui jajanan-jajanan yang mereka beli setiap hari, di sekolah, di warung, di supermarket dan lain-lain.

Pokoknya yang gurih itu enak, dan bermodalkan lima ratusan atau satu ribuan, berpindahlah zat kimia tersebut ke dalam sel-sel tubuh anak-anak kita.

Saya menduga, bahwa lima belas atau dua puluh tahun ke depan, nilai gagal hidup dari generasi kita akan meningkat. Kemungkinan besar, penyebab kematian adalah kanker serba serbi.

Dan susahnya kita tidak perduli akan hal ini, karena memang kita belum merasa rugi. Coba kalau semua warga Negara diasuransikan kesehatannya oleh Negara, maka saya kira Negara akan sangat berperan aktif memberangus makanan-makan beracun tersebut.

Bukan hanya narkoba musuh bangsa, saya kira MSG dan zat pewarna juga….

Tuesday 11 September 2007

Ekonomi apakah selaras dengan Kebajikan...Semua Bergantung Niat!

Tulisan ini terinspirasi setelah saya jalan-jalan di dunia maya dan terdampar di beberapa blog yang mengulas tentang perekonomian indonesia dan sekitarnya.
Istilah-istilah dan cara serta sudut pandang juga beragam, contoh sekedar mencuplik dari satu dua artikel yang kubaca...

dari http://sarapanekonomi.blogspot.com/

August 18, 2007 Indonesian economy grows faster

"Almost seven percent in the second quarter this year. If we exclude oil and gas sectors, that is.
Indonesia's economic growth (2002-2007) Indonesia's economy as a whole grows by 6.3%, which is also quite good. But, the slower growth is because oil and gas sectors continue contracting.If this seven percent growth translates into lower unemployment- and poverty rates, all would be very well "

--------------

dari http://mimodjo.blogspot.com/

" Don’t be terrorized by numbers, "The fact is that, despite its mathematical base, statistics is as much an art as it is a science," (Darrell Huff, How to Lie with Statistics).Badan Pusat Statistik mengumumkan jumlah penduduk miskin berkurang, dari 39,30 juta tahun 2006 menjadi 37,17 juta tahun 2007. Artinya, terjadi pengurangan 2,13 juta penduduk miskin atau 1 persen dari total penduduk Indonesia selama satu tahun "

Dan berikut ini adalah pandangan dan pola pikir saya....

Menarik membaca artikel-artikel di blog tersebut.

Juga menyadarkan ku bahwa banyak hal-hal yang masih belum bisa aku cerna dengan mudah. Misalnya dampak nyata dari fenomena-fenomena economy tersebut "real wages, macro-micro economy, trade, inflation, GDP, balanced-budget zealotry etc" bagi pernik-pernik kehidupan keseharian orang-per-orang di masyarakat kita.
Bisa jadi hal-hal tersebut benar-benar menjadi topik pembicaraan "warung kopi" di negara lintang-bujur yang lain, namun mungkin belum terlalu membumi di segmen kebanyakan masyarakat kita.

Aku bertanya-tanya, bagaimanakan para orang-orang yang berprofesi sebagai ekonom tersebut melihat sistem komunitas masyarakat kita. Adakah masyarakat kita dilihat sebagai suatu model matematis, yang direpresentasikan dengan aluran kurva-kurva ? Apakah komunitas masyarakat dipandang sebagai black box dengan parameter input dan output dan beragam parameter lainya seolah suatu sistem kontrol terbuka atau tertutup?

Sekedar membayangkan, bagaimanakah, misalnya, gonjang ganjing krisis submortgage di negara asal kakek Sanders, bisa mempengaruhi kehidupan Mas Joko dan istri penjual tempe mendoan langgananku di pinggir jalan Cipondoh, Poris Plawad ? Atau Mas Endy, pemilik beberapa kedai cukur rambut tradisional di dekat Banjar Wijaya.

Sabtu minggu kemarin sekitar jam 8.00 pagi, aku jemput anakku di sekolah lihat antrian minyak tanah di sebelah kiri jalan, sore hari jam 16.00 selepas pulang dari Pecel Madiun serpong, lewat jalan yang sama, antrian bertambah panjang. Apakah para pembuat keputusan hapal nama-nama orang yang antri minah tersebut ?

Betul adanya, memang hal-hal makro haruslah juga dipikirkan namun terkadang keberpihakan visioner jarang kita temukan berlabuh di kepentingan masyarakat banyak.

Aku berfikir, berapa banyak pebisnis dan pemilik perusahaan di Indonesia ini yang juga menyertakan hitungan trend kenaikan jumlah tabungan buruh mereka selagi membuat planning 5 tahunan industri bisnis mereka ? Jelas, trend kenaikan omzet dan EBIT mestilah ada dalam forecast sheet mereka.

Nampaknya, lumrah bagi para pebisnis dan pemilik perusahaan menargetkan bahwa dalam lima tahun omzet dan EBIT harus meningkat sekian puluh persen, tapi apakah juga lazim bagi mereka menargetkan, misalnya, 5 tahun ke depan semua buruhnya harus punya rumah milik sendiri, harus minimal berpenghasilan sekian puluh juta pertahun per orang, harus punya tabungan sekian juta untuk kelanjutan studi anak-anak mereka dan lain-lain...

Visi bagiku kadang bisa sesederhana kata dasar "niat", niatnya apa kita mendirikan usaha.

Hampir tidak habis pikir beberapa bulan yang lalu mencermati berita bahwa ada sekelompok perusahaan yang menerima kontrak jahit sepatu Nike, akhirnya menyadari bahwa mereka terlalu padat karya, 14,000 buruh ? Niatnya apa merekrut buruh hingga sebanyak itu ? Mensejahterakan mereka kah ? Bukankah, bilangan asli 14,000 juga berawal dari cacahan 1, 10, 250, 1500, 6521, 11200. Mengapa dulunya tidak berhenti di angka 4000 misalnya ? Apakah sudah dipikirkan bahwa kita mampu mengayomi dan memberikan perlindungan penghasilan yang teramankan (secured income) bagi 14,000 mereka ?

Jangan-jangan niat awalnya adalah hanya memperbesar omzet saja.

Belum lagi bila kita menengok program konversi minyak tanah ke gas, tidak segampang itu terlaksana. Bahkan kita juga selalu ingin tahu jangan-jangan yang menjadi daya tarik sesungguhnya adalah proses manufaktur tabung dan kompor gas-nya ?

Jadi sesungguhnya apa makna kata "ekonomi" tersebut bagi kita ? Seyogyanya "ekonomi" adalah sarana untuk kemaslahatan orang banyak, suatu hal yang sesungguhnya sederhana, bila kita berniat begitu.

Monday 10 September 2007

PADA SUATU SAAT, KETIKA MEREKA BERTANYA

Dik Bayangkanlah....
Di beranda rumah, pada saat anak-anak bertanya
--------------------------------------------------------------------------
Belitung-4, 13 Agustus 1995

PADA SUATU SAAT, KETIKA MEREKA BERTANYA

Dan ketika mereka bertanya
Tentang Kerinduan yang membara dan tiada usai

Jawablah...
Karena bagi kita rindu telah me-nafas
Seiring raga, tanpa pernah kita sengajakan

Pada akhirnya, mereka juga terus bertanya
Tentang cinta yang penuh dengan rahmi dan tiada lekang

Jawablah...
Karena bagi kita cinta bukan untuk kita semata
Bahkan adalah warisan kita yang paling berharga buat mereka

Akan tetapi,
Bila mereka kembali bertanya
Apatah cinta kita ialah yang terindah ?

Jawablah: Tidak!
Karena sesungguhnya yang terindah adalah cinta sang Khaliq
kepada kita dan mereka

Sunday 9 September 2007

Bukan Sekedar Kami Berteman

Bukan Sekedar Kami Berteman
(Lintasan rel Yogyakarta Bandung, 9 Juli 1995,
selepas pernikahan Hamdi)

Kami telah berteman dalam menjelajahi waktu
Pada paruhan-paruhan yang mesti kami isi ceritanya
Dari malam ke pagi hingga sore dan kembali ke malam
Menyiasati hari dengan jentera-jentera tawa
Karena, bukankah kehidupan adalah keceriaan yang terlengkap ?

Kami berteman selalu berkumpul
Pada sisi-sisi kami yang menyatukan
Juga pada sisi-sisi kami yang hablur namun tersatukan
Membuat kenangan ke sana ke mari
Mengaitkan banyak cerita sesudahnya

Kami berteman tidaklah berkelompok dengan membuta
Karena kami selalu bertambah seiring lintasan mentari
Pada setiap saatnya,
Dari dua menjadi lima, dari lima ke bilangan sembarang

Kami berteman bukanlah untuk membuat hanya satu jalan
Dan mengakuinya hanya milik kami, bukan petemanan yang lain
Melainkan,
Kami berteman membuka jalan
Bagi apa-apa yang akan ada di ujungnya

Kami berteman berawal dari acak
Lantas membiaskan apa yang tersusun rapi daripadanya
Membangun bongkahan rahmi yang terus membesar

Kami berteman bukanlah untuk memilih
Melainkan memilah dalam kebijakan
Seraya saling menasehati
Dalam menetapi kebenaran dan kesabaran
Selalu menjadi penengah
Yang tidak pernah perlu merasa pongah
Barang sedikitpun…

Karenanya,
Sekarang kami berteman
Agarlah lusa hari
Anank-anak kami pun dapat melanjutkannya
Bukan hanya sekedar mengenang !

Saturday 8 September 2007

Mamamia dan Sejatinya Anak Kita ...Pemenang

Hmm, tak lepasnya hamba yang dhaif ini berpikir dan merenung.
Memuji rahmat Allah yang ternyata sangat banyak dan berlimpah, telah diterima hamba.

---

Kemaren malem selepas kerja, saya dan istri menonton tayangan program "MAMAMIA" di sebuah stasiun televisi swasta. Sebuah program yang azasnya mempertontonkan bagaimana dukungan dan tuntunan dari Seorang Ibu kepada anaknya (gadis) agar mampu melewati elimasi dan menang kontes nyanyi.

Setiap minggu akan ada yang terelimasi menurut penilaian sekitar 100 orang juri internal yang memberikan pilihannya melalui tombol elektronik. Paling tidak ada 1 pasangan Ibu dan anak akan terelimasi, dipilih dari tiga pasangan yang masuk kategori zona tidak aman.

Helmy Yahya, Dani, Latjuba, dan Arzetti adalah pemandu acara dan pemandu impresi penonton di studio dan di rumah.

Banyak keharuan, kesedihan tergambar dalam detik-detik eliminasi ini. Saya kira keadaan sesungguhnya yang kita nantikan bukanlah siapa yang akan menjadi juara, tapi siapa yang tersingkirkan.

Ceritanya, Salah seorang Ibu, Mama Nany dan anaknya Ribka, berada pada posisi tidak aman, menjadi bagian dari 3 pasangan yang berpotensi menjadi korban eliminasi.

Mama Nany begitu mengetahui anaknya Rifka berada pada posisi tidak aman, kelihatan sangat tegang dan hampir tidak dapat mengendalikan kecemasannya. Benar saja pada saat acara belum selesai beliau dibawa ke rumah sakit karena terkena depresi dan kecemasan berlebihan...entah bagaimana kabarnya hari ini.

Nampaknya sang Mama Nany begitu takut anaknya akan menjadi yang "kalah" dan tersingkirkan dan seolah-olah ini akan menjadi akhir segalanya. Boleh jadi Mama Nany menitipkan harapan orang dewasa kepada seorang anak 14 tahunan Rifka, meskipun ini adalah anaknya sendiri.

Bisa jadi Mama Nany sangat tertekan bila mengetahui anaknya kalah...

Kebanyakan kita orang tua mungkin seperti itu, boleh jadi juga akan memarahi anak karena mereka menjadi kalah, kurang pintar, lamban menghitung angka-angka, hanya rangking 27 ke bawah dan lain-lain.

Jangan-jangan bahkan kita pernah meledek mereka, "Hey ngapai belajar, udahlah paling-paling juga dapet 6 lagi..." atau "udahlah ikut sekolah bola, lari aja lambat...nggak bakalan menang larinya..."

Tidaklah pantas kita merendahkan dan menyesali apapun pencapaian anak-anak kita, karena sesungguhnya mereka adalah pemenang. Mereka adalah yang terbaik, tercepat, yang paling tahan terhadap segala rintangan.

Subhanallah!
Bukankan dulu, anak kita adalah salah satu dari sekitar 300 juta -500 juta spema sang Ayah yang berenang cepat menuju indung telur sang Ibu ?
Dan atas kehendak Allah, anak kita itulah yang menjadi pemenang....bayangkan mengalahkan RATUSAN JUTA pesaing-nya !

Dia adalah - atas kehendak Allah - yang tercepat, yang terpintar, yang tergagah!
Hakikinya dia adalah PEMENANG, yang dititipkan oleh Allah kepaa kita, juga sang PEMENANG!

Peluk cium buat anak-anak kita!

Mamamia dan Sejatinya Anak Kita ...Pemenang

Hmm, tak lepasnya hamba yang dhaif ini berpikir dan merenung.
Memuji rahmat Allah yang ternyata sangat banyak dan berlimpah, telah diterima hamba.

---

Kemaren malem selepas kerja, saya dan istri menonton tayangan program "MAMAMIA" di sebuah stasiun televisi swasta. Sebuah program yang azasnya mempertontonkan bagaimana dukungan dan tuntunan dari Seorang Ibu kepada anaknya (gadis) agar mampu melewati elimasi dan menang kontes nyanyi.

Setiap minggu akan ada yang terelimasi menurut penilaian sekitar 100 orang juri internal yang memberikan pilihannya melalui tombol elektronik. Paling tidak ada 1 pasangan Ibu dan anak akan terelimasi, dipilih dari tiga pasangan yang masuk kategori zona tidak aman.

Helmy Yahya (yang ini juga lulusan SMAN 3 Palembang lho...), Dani, Latjuba, dan Arnetti adalah pemandu acara dan pemandu impresi penonton di studio dan di rumah.

Banyak keharuan, kesedihan tergambar dalam detik-detik eliminasi ini. Saya kira keadaan sesungguhnya yang kita nantikan bukanlah siapa yang akan menjadi juara, tapi siapa yang tersingkirkan.

Ceritanya, Salah seorang Ibu, Mama Nany dan anaknya Rifka, berada pada posisi tidak aman, menjadi bagian dari 3 pasangan yang berpotensi menjadi korban eliminasi.

Mama Nany begitu mengetahui anaknya Rifka berada pada posisi tidak aman, kelihatan sangat tegang dan hampir tidak dapat mengendalikan kecemasannya. Benar saja pada saat acara belum selesai beliau dibawa ke rumah sakit karena terkena depresi dan kecemasan berlebihan...entah bagaimana kabarnya hari ini.

Nampaknya sang Mama Nany begitu takut anaknya akan menjadi yang "kalah" dan tersingkirkan dan seolah-olah ini akan menjadi akhir segalanya. Boleh jadi Mama Nany menitipkan harapan orang dewasa kepada seorang anak 14 tahunan Rifka, meskipun ini adalah anaknya sendiri.

Bisa jadi Mama Nany sangat tertekan bila mengetahui anaknya kalah...

Kebanyakan kita orang tua mungkin seperti itu, boleh jadi juga akan memarahi anak karena mereka menjadi kalah, kurang pintar, lamban menghitung angka-angka, hanya rangking 27 ke bawah dan lain-lain.

Jangan-jangan bahkan kita pernah meledek mereka, "Hey ngapai belajar, udahlah paling-paling juga dapet 6 lagi..." atau "udahlah ikut sekolah bola, lari aja lambat...nggak bakalan menang larinya..."

Tidaklah pantas kita merendahkan dan menyesali apapun pencapaian anak-anak kita, karena sesungguhnya mereka adalah pemenang. Mereka adalah yang terbaik, tercepat, yang paling tahan terhadap segala rintangan.

Subhanallah!
Bukankan dulu, anak kita adalah salah satu dari sekitar 300 juta -500 juta spema sang Ayah yang berenang cepat menuju indung telur sang Ibu ?
Dan atas kehendak Allah, anak kita itulah yang menjadi pemenang....bayangkan mengalahkan RATUSAN JUTA pesaing-nya !

Dia adalah - atas kehendak Allah - yang tercepat, yang terpintar, yang tergagah!
Hakikinya dia adalah PEMENANG, yang dititipkan oleh Allah kepaa kita, juga sang PEMENANG!

Peluk cium buat anak-anak kita!

Friday 7 September 2007

MUBA dan Indonesian Idols.....

Terharu aku ndenger cerito Sekayu…Punyo visi nian itu Bupati MUBA. Bukan cuma kato-kato “Gratis”nyo tapi bagaimana dio memanfaatkan posisi tawar daerah otonomi untuk kemajuan rakyat. Aku berharap jugo MUBA jadi contoh bersihnya pemerintahan, kalo bersih…oii banyak duit kito tu! Duit rakyat! Serakyat-rakyatnya….
Jadi ingat kejadian Minggu hari kemarin, aku beserta istri dan 2 anak bejalan ke Mal baru di Gading Serpong Tangerang. Di sano kebetulan INDONESIAN IDOLS lagi pentas, semua peserta finalis 12 uwong hadir termasuk Rini dan Wilson dll. Begitu gemerlap, cantik - gagah - ganteng, di atas pentas.
Ratusan pengunjung mall histeris, termasuk kedua anak 9 dan 7 tahunku. Mereka berjingkrak dan bersemangat sekali….
Disisi lain, aku menyudut dan mulai merasakan perasaan aneh, miris…Aku memang jarang menyaksikan acara pilih-pilih INDONESIAN IDOLS ini di tipi tapi aku tahu sedikit bahwa salah satu sumber pembiayaan acara ini adalah bisnis content provider di mana para voter (jutaan orang INDONESIA) mengirimkan SMS premium ke nomor tertentu, kalau tidak salah Rp 2000/sms, berminggu-minggu, berkali-kali.
Jadilah acara ini sebagai franchise entertainment (world wide), yang menyedot kapital masyarakat, dari kelas bawah sampai atas, dari anak TK sampai Dosen, dari Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak! Namun anehnya, kita tidak merasa keberatan…
Kalo finalis pulang kampung, Bupati/Walikota turut menyambut, rame niah …Rini di Medan, Wilson di Ambon…IDOLS-IDOLS ini juga menikmati fasilitas yang luar biasa, pulang dikawal motor gede polisi lalu lintas ….
Tapi apa return bisnis ini bagi masyarakat ? Tercerabutnya konsep IDOLS bagi anak-anak kita ?
Niscayanya, dana kapital yang beredar informal ini, cenderung tidak produktif dan memicu konsumerisme ikutan seperti menonton show-show mereka, membeli kaset-kaset mereka dan lain-lain. Sebenarnya sih ini sah-sah saja karena hak memeperoleh hiburan yang layak itu juga asasi, sebagaimana asasinya hak anakku untuk beli poster SMACKDOWN dan ditempel dibalik pintunya ….”Emang napa ?” kata anakku Arya dengan logat Tangerang-nya yang kental …
Aku pergi kerja hari ini dengan sejuta perasaan bergelayut, masih memikirkan apa yang aku alami kemarin di Mall. Menjelang makan siang hari ini, aku telpon beberapa teman yang sudah cukup menjabat di beberapa perusahaan yang mungkin beririsan seperti INDOSAT (mestinya lebih tepat SING-SAT), Telkomsel, Cisco dll. Aku mendapatkan ulasan sedikit tentang bagaimana bekerjanya content provider business dll….
Hmm, separuh nafasku rasanya kembali setelah aku menemukan ide yang mungkin ada baiknya diungkapkan di forum ini, walaupun terdengar terlalu eksotis dan idealis.
Kalau saja, kita bisa membuat acara SUMBANGAN - ONLINE SELULER yang menarik minat masyarakat banyak dan mereka menyumbang melalui SMS premium, lalu uangnya kita gunakan untuk kegiatan produktif misal membangun sekolah dasar, renovasi rumah guru, pasang internet di desa-desa, beasiswa dll, mungkin kita bisa mengangkat perekonomian masyarakat
Kalaulah kita bisa mulai dari lingkungan yang kecil, tingat kota, misalnya atau kabupaten dll ?Mungkin kita bisa bangun beberapa gedung SD permanen di daerah terpencil di kampung kita, membiayai anak-anak terpencil untuk terus sekolah, renovasi rumah guru dan lain sebagainya.
Secara teknologi ini mungkin dilakukan, serta juga sangat transparan untuk di audit! Yang penuh tantangan adalah menjadikannya suatu gerakan moral dan materil.
Terpikir olehku, pada saat yang sama kemarin sewaktu anak-anakku berjijingkrak menonton 12 finalis INDONESIAN IDOLS di pentas, apa yang dilakukan oleh anak-anak di sepanjang sungai Lematang ? sepanjang sungai Ogan dan Sungai Kikim ? Di Gelumbang (tempat Atina mengajar?), di Teluk Kijing ? Muara Kelingi ?
Padahal kita harus yakin, anak-anak di sana memiliki hak yang sama untuk menjadi IDOLS-IDOLS di masa depan. Saya yakin itu, akan ada putra-putra Gelumbang yang menjadi tokoh panutan Indonesia !