Pages

Friday 18 January 2008

Penjajahan Gandum! (Makanlah dari yang engkau bisa tanam!)

Salah satu surat kabar nasional (KOMPAS 12/01/2008) menurunkan berita di halaman sebelum halaman belakangnya tentang industri hilir berbasis tepung terigu yang mengalami pukulan hebat selama dua tahu terakhir karena melonjaknya harga gandum sebagai bahan tepung terigu di pasar dunia. Selama tahun 2007, surat kabar ini mengindikasikan, telah terjadi kenaikan harga mencapai lebih dari 100%.

Pasokan gandum dunia menurun sementara tiada gandum yang ditanam di dalam negeri. Selama ini pasokan kebutuhan gandum nasional (sekitar 5 juta ton per tahun) diperolah dari Amerika/Kanada dan Australia.

Saat ini Amerika/Kanada (biasanya memproduksi sekitar 80 juta ton/tahun) mengalami banyak gagal panen karena cuaca yang tidak bersahabat sementara Australia (biasanya memproduksi sekitar 20-30 juta ton/tahun) baru-baru ini mengalami musibah kekeringan hama tanaman. Sebenarnya produsen gandum terbesar dunia adalah Cina (hampir 100 juta ton per tahun), namun nampaknya konsumsi dalam negeri mereka sendiri sangat tinggi hingga sulit untuk menyisakan untuk ekspor.

Industri-industri hilir yang terpengaruh adalah industri-industri makanan berbasiskan terigu seperti roti dan kue, mi instan, biskuit, pasta mengalami masa sulit karena harus menaikkan harga di kala daya beli masyarakat yang kian menurun.

Dari dulu, saya yang bukan pejabat atau staf ahli ataupun intelektual formal ini, sudah sering memikirkan dan menyampaikan, sebaiknya makanlah dari yang engkau bisa tanam. Karena sesungguhnya, kemandirian suatu koloni manusia yang paling dasar adalah bila dia mampu makan tanpa tergantung orang lain!

Kita bukan orang “gandum”. Dari dulu nenek moyang kita bisa tetap eksis karena mereka makan jagung, sagu, singkong, kelapa, pisang, nangka, mangga, talas, umbi bambu, umbi rotan, ubi jalar, kedelai…

Kata-kata terigu (tepung gandum) sendiri merupakan serapan dari bahasa Portugis trigo.

Kalau kita suka roti dan mi misalnya, makanlah roti dan mi dari tepung beras, tapioka, sagu dan lain-lain. Kita punya banyak makanan olahan yang teruji enaknya dan mengandung asupan sari makanan yang sehat seperti pempek, burgo, lumpia, getuk, pepeda. Semua jenis makanan ini menggunakan bahan dasar non gandum.

Percayalah, walaupun memang para pejabat di department pertanian punya banyak teori tentang diversifikasi makanan, tapi tanpa determinasi yang tinggi dari bangsa ini untuk bebas dari ketergantungan bangsa lain, maka selalu kita akan menjadi bangsa yang terjajah. Memang, terlalu bombastis bila saya dengan nakal melontarkan istilah “Penjajahan Gandum”.

Tapi begitulah keadaan kita, kita termasuk bangsa yang tidak perduli tentang apa yang kita makan. Kita terbuai dengan fakta bahwa industri mi instan di tanah air berkembang pesat hingga ke pasar dunia, tapi siapa yang pernah mengingatkan bahwa bahan baku mi instan kebanyakan adalah tepung terigu dari gandum impor.

Kita juga terbuai dengan rayuan konsumerisme. Kalau mau dianggap elit dan terpandang, maka yang dihidangkan dalam jamuan makan kita mestilah roti, keju, mentega, pasta. Bukan getuk, pempek, atau kue dari tepung beras ? Makan singkong selalu diidentikan dengan keadaan bila sudah tidak ada pilihan makanan yang lain….karena singkonglah yang paling mudah didapatkan dan paling mudah ditanam.

Di duniapun, sesungguhnya yang paling banyak ditanam adalah jagung (menghasilkan Maizena), gandum (menghasilkan terigu) di peringkat ke-2, diikuti oleh beras di peringkat ke 3.

Atau bila memang terigu itu lebih enak, lebih menyehatkan dan lebih gampang dibuat makanan enak, mari kita lakukan gerakan nasional menanam gandum! Siapa bilang gandum tidak bisa tumbuh dengan baik dan ekonomis di Indonesia ? Kalau di India (produsen gandum nomor dua di dunia) bisa tumbuh, maka sebegitu juga mestinya di Indonesia. Tentu saja faktor ketinggian lahan, curah hujan dan kelembaban harus diperhatikan. Tetapi bukankan kita punya banyak ahli pertanian untuk menemukan bibit dan cara tanam yang sesuai ? Tidak perlu lagi diceritakan tentang sumber daya petani kita yang terbukti sabar, tekun dan pekerja keras ?

Cina, India, Amerika, Kanada, Autralia, adalah beberapa negara produsen gandum terbesar dunia, sebenarnya bukanlah negara asal tanaman gandum. Para sejarawan mengindikasikan bahwa budidaya tanaman gandum pertamakali berasal dari daerah subur di sekitar sungai Nil, Eufrat dan Tigris, dan barulah sekitar 5000 tahun yang lalu menyebar ke belahan dunia yang lain seperti Ingris raya, Irlandia, India, Spanyol/Portugis, dan Cina.

Cobalah lihat data di table-1: mengapa 10 besar Negara produsen gandum di dominasi oleh Negara yang bukan asal domestikasi tanaman gandum ? Dan gandum dapat tumbuh di sana. Mengapa ? Karena mereka mau menanam! Kenapa mereka menaman ? Karena mereka butuh untuk dimakan!

Karena mereka sadar betul, hanya mau makan dari yang mereka bisa tanam sendiri!

Di Indonesia sendiri, salah satu perusahaan produsen (penggilingan) terigu telah mempelopori proyek-proyek penelitian dan percontohan penanaman gandum. Beberapa lokasi di pulau Jawa (misal Pasuruan) telah ditanami bibitan gandum dari India. Hasilnya cukup menjanjikan bahkan dilaporkan lebih baik dari hasil yang di dapat bila bibit yang sama di tanam di India (3.5 ton per ha disbanding 2.5 ton per ha). Ratusan hektar proyek percontohan tengah berjalan di Pasuruan, dengan target bahwa satu juta hektar tanaman gandum dapat dicapai di Indonesia pada sekitar 2010. Pada saat ini diharapkan hampir semua kebutuhan nasional akan dipasok dari hasil pertanian dalam negeri.

Pasar terigu (membutuhkan gandum sebagai bahan dasar) sedang dibentuk dan dikembangkan lebih lanjut oleh pemilik kapital, karena potensi penduduk Indonesia yang sedemikian besar. Para pelaku pasar mulai dari industri hulu ke hilir, sekarang melihat bahwa perlu dijaminnya pasokan gandum secara ekonomis. Menaman gandum sendiri merupakan antisipasi yang sekarang digarap dari sisi komersial.


Yang perlu dicermati adalah pada saatnya nanti distribusi bibit dan teknologi haruslah sedemikian merakyat, sehingga ajang pasar gandum tidak kembali menjadi ajang mengeruk keuntungan tanpa memperhatikan pemberdayaan petani gandum dan masyarakat. Jangan sampai nantinya, upaya-upaya proyek budidaya gandum yang disponsori oleh industri penggilingan gandum semata-mata bermuatan komersial belaka.

Kembali ke topik awal, selalulah pegang prinsip untuk makan dari yang bisa kita tanam sendiri. Karena sesungguhnya itulah salah satu bentuk kemandirian yang hakiki!



Monday 7 January 2008

Tentang Minat Baca...

(Awas Membaca Buku Sebentar Lagi Dilarang, Bacalah Sekarang!)

Awal tahun 2008 ini, Gramedia sebuah organisasi rantai panjang dalam penerbitan, percetakan dan penjualan buku di tanah air membuka sebuah kedai lagi di daerah Mampang (Jakarta). Kedai ini diakui sebagai kedai buku terbesar di Asia Tenggara, jadi tidak heran bila SBY juga menyempatkan hadir untuk meresmikan pembukaannya, pada kesempatan yang sama beliau juga meluncurkan buku kompilasi pidato beliau "Indonesia On The Move".

Yang menarik untuk dicermati adalah sebuah visi besar dari kelompok busines Gramedia ini untuk benar-benar menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang gemar membaca. Sejarah panjang dan prestasi kelompok busines Gramedia ini saya kira menjadi tolok ukur yang patut kita apresiasi.

Saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke kedai baru ini, mengingat pada saat yang sama diadakan pesta potongan harga sebesar 30% untuk semua produk buku dan stationery kecuali alat elektronik.

Efeknya sungguh luarbiasa, jalan Mampang menjadi macet karena dijadikan lahan parkir. Semua orang bergegas menuju ke gedung Gramedia, yang keluar dari gedung selalu menenteng bungkus plastik umumnya berisi buku. Yang lebih mengesankan lagi, sewaktu saya masuk dan bercampur dengan calon pembeli lain, mereka begitu euforia mengambil berbagai ragam buku di rak!

Aduhai, sebuah pemandangan yang menyejukkan hati...
Saya sendiri meraup beberapa buku majemenen dan psikologi dan bergegas membayar ke kasir, antrian begitu panjang! Tua muda, anak-anak hingga dewasa semua menenteng buku.

Kepada seseorang pegawai pengawas di kasir, saya sempat bercakap-cakap dan memahami bahwa suasana hiruk pikuk ini sudah terjadi semenjak kedai ini resmi dibuka beberapa hari yang lalu. "Menurut Bapak, apakah memang masyarakat kita sudah sedemikian tinggi hasrat membaca-nya Pak ?", tanyaku tergelitik. "Dua-duanya Pak!", jawab sang pegawai. "Maksud saya ini karena memang masyarakat kita sudah gemar membaca dan juga karena diskonnya pak...", lanjutnya penuh semangat. "Nggak penting buku apa Pak, pokoknya beli buku", tiada hentinya sang pegawai menimpali.

Tapi sayangnya memang, pesta ini hanya berlangsung 1 minggu saja. Seandainya masyarakat kita bisa begitu antusiasnya membeli buku, dan juga membacanya, saya kira transformasi budaya kita akan dengan cepat melejit setara dengan bangsa lain di asia tenggara, paling tidak.

Memang banyak pihak prihatin bahwa minat baca bangsa ini masih relatif rendah dibanding negara lain. Walaupun kita sudah punya Hari Buku Nasional -- 17 Mei diperingati setiap tahunnya. Biasanya minat baca yang rendah akan dikaitkan dengan indeks sumber daya manusia yang juga akan rendah, GDP juga akan selaras rendahnya.

Walaupun memang agak susah mendefinisikan secara tegas minat baca itu apa, karena sesungguhnya bangsa ini juga sebenarnya gemar membaca yang lain seperti membaca mantera, membaca nasib dan peruntungan di tahun baru, membaca angka dan lambang di kupon togel. Atau apakah membaca tabloid gosip termasuk kedalam komponen statistik angka minat baca ?

Keberadaan perpustakaan juga masih sangat minim, secara kasar sekitar 300.000 SD hingga SLTA, baru 5% yang memiliki perpustakaan. Bahkan diduga hanya 1% dari 260.000 SD yang mempunyai perpustakaan.
Dan anak-anak juga tidak terbiasa membaca.

Pernakah kita bertanya kepada anak-anak kita apakah mereka sudah baca Koran hari ini ? Atau sudah berapa novel yang dia tamatkan bulan ini ? Paling banter kita suruh anak kita untuk baca buku pelajaran di sekolah, karena itulah yang akan diujikan di sekolah.

Atau bahan bacaan yang kurang mudah didapati ? Mahal ? Tidak menarik isinya. Hmm, bisa saja terjadi. Buktinya banyak anak-anak yang antri beli buku Harry Potter (buku mana saja). Atau jadi ingat bagaimana anak-anak muda begitu bersemangat mencuri baca "buku porno stensilan" ? Jadi, isi yang menarik memang bisa saja menjadi daya pikat tersendiri. Aspek manajemen kampanye pemasaran juga mestinya pegang peranan.

Saya sama sekali tidak kapabel untuk memaparkan ide-ide solusi meningkatkan minat baca, melainkan sekedar memberikan pemikiran-pemikiran terbalik mengenai perspektif lain dari minat baca ini.

PERSPEKTIF LAIN:

  • Minat baca rendah mungkin karena harga buku mahal ? Jadi ingat waktu kuliah, berburu buku-buku terbitan INDIA (Tata McGrawHill). Kertas-nya kertas kacang, tapi isinya kelas dunia!
  • Belanja Buku (atau uang pendaftaran perpustakaan) tidak dimasukkan sebagai kebutuhan primer, cuma "Sandang-Pangan-Papan".
  • Harga buku mahal karena printing machine dan binding machine mahal - mesin import, belum lagi bicara produksi kertas yang terbatas dan harga printing ink dan coating ink yang tergantung nilai tukar mata uang asing ? Tidak ada produsen dalam negeri yang mampu memproduksi mesin cetak ala kadarnya. Rantai distribusi tinta cetak dan harga kertas yang mahal.
  • Selama ini kita hanya berbicara meningkatkan minat baca, tetapi apa kita pernah menyentuh dan prihatin tentang minat MENULIS bangsa ini ? siapa tahu memang kemahiran bangsa ini adalah MENULIS ? Ah...aneh-aneh saja, karena bukankan seorang PENULIS-pun membutuhkan bacaan untuk referensinya.
  • Budaya menulis buku sebagai imbangan membaca buku. Kalau semua buku terjemahan, akan mahal membayar fee penulis dan lain-lain.
  • Minat baca rendah karena membaca buku tidak dilarang maka orang malas membaca buku...coba keluarkan peraturan darurat bahwa membaca buku apa saja di larang di INDONESIA, pasti orang akan berontak dan demonstrasi membaca buku di mana-mana ? Mahasiswa berduyun-duyun datang ke gedung MPR/DPR sambil membawa buku mengadakan aksi 1 juta orang baca buku di jalan tol ? Anak-anak SD berpawai ke kantor Walikota sambil meneriakkan "kami ingin membaca, baca, baca!"