Pages

Sunday 21 October 2007

“Oii, gerot dio sekarang Lur, dio tu Kepala Dinas…!”

Aku pulang kampung ke Palembang 3-4 hari di Syawal tahun ini, bersilaturahmi dengan dengan keluarga dan rekan-rekan sepertumbuhan dan sepergaulan. Juga ada acara reuni angkatan 1986 SMAN3 Palembang, dimana rasanya sangat ingin aku hadiri setelah hampir 18 tahun tidak bertemu.

Aku menemukan Palembang bertransformasi menjadi kota metropolis, slogan yang sekarang akrab di telinga setiap penghuni kota tua dan bersejarah ini. Secara fisik, pembangunan infrastruktur sunguh mengesankan. Bangunan menjulang di sana-sini baik hotel dan perkantoran, fasilitas olahraga kelas dunia sudah tak dipungkiri lagi keberadaannya, pusat selebrasi dan hiburan masyarakat dikembangkan, Bandar udara dan laut yang megah dan mendunia, pempek dan kerupuk dikelola secara professional menjadi buah tangan kebanggaan Palembang, Martabak HAR sudah pakai kardus berlogo…hmm, saya kira sudah pas kalau kita katakan kita bertrasformasi menjadi metropolis.

Saya menyempatkan diri berkunjung kesana-kemari, ke rumah kerabat dan kawan-kawan dekat. Yang akhirnya menggugah hatiku adalah pernyataan tipikal yang berkali-kali aku dengar sebagai ulasan dari lawan bicaraku sewaktu aku menanyakan kabar tentang seorang kerabat yang sekarang sedang menikmati kebahagiaan ekonomi: “Oii, gerot dio sekarang Lur, dio tu Kepala Dinas…!”. “Rumahnyo besak nian, mobil bejejer…!”, timpal salah seorang kerabat dengan bangga. “Semenjak dio jadi Kepala Dinas tu lah…sugih nian,” terusnya dengan bersemangat.

Bergemuruhlah dadaku ini menahan kecamuk batin untuk bertanya apakah memang jawaban itu merupakan penjelasan yang kucari dari observasiku terhadap premis “rumah besak, mobil bejejer ?” Ataukah “semenjak menjadi Kepala Dinas…” bisa diterima menjadi kata kunci yang menyelaraskan hubungan sebab-akibat ?

Aku hampir saja terpeleset untuk terus bertanya dan mempertanyakan, namun aku sadar bukankah rasanya diri ini tidaklah berhak untuk tahu lebih jauh, aku bukan siapa-siapa. Lantas siapa yang sepantasnya bergeliat ?

Mestinya yang harus bertanya dan mempertanyakan adalah keluarga mereka sendiri, dimulai dari istri, anak, mertua dan orangtua terus mengalir ke komunitas sekitar yang lebih besar.

Terbayang olehku…seandainya aku pada posisi sedemikian itu, seperti sang Kepala Dinas. Aku ingin istriku tercinta menggugat cerai kepadaku bila ternyata aku tidak mampu menjelaskan asal-usul harta yang kupergunakan untuk membelikannya perhiasan, untuk renovasi rumah atau tambah mobil satu di garasi ! “Ceraikan aku Pak, ceraikan sekarang, tak sudi aku turut menikmati nafkah darimu yang tak jelas juntrungan halal atau tidaknya itu…,” begitu kira-kira kata istriku dalam percakapan imajiner kami.
Ataupun, aku membayangkan anakku protes keras, “Pa, aku mau minggat saja, karena aku curiga dari mana Papa dapat uang buat beli PS3 yang baru ini”.

Merekalah, istri dan anak-anak yang tahu persis penghasilan Bapaknya dan berhak bertanya bila nafkah yang diberikan mencurigakan asal usulnya. Ada hak prerogratif bagi mereka untuk tahu dan merasa nyaman tentang asal-usul sesuatu yang akan mereka nikmati.

Barulah kemudian masyarakat sekitar berhak untuk mencari tahu, karena hakikinya kita tidaklah boleh membiarkan seorang saudara kita terjerembab kedalam jurang kemaksiatan, menikmati yang bukan haknya.

Menjadi Kepala Dinas, bisa jadi bukan serta merta alasan dia menjadi banjir harta karena sesuatu di luar haknya. Bisa jadi, dia memiliki usaha pribadi yang lain yang menghasilkan uang berlimpah untuk memujudkan rumah besak dan mobil bejejer. Bisa jadi juga dia mendapatkan limpahan warisan dari orangtuanya yang dari dulu sudah berlimpah harta. Tapi mari kita jujur, apakah fenomena sang Kepala Dinas ini merupakan hal yang bisa kita anggap tidak mengganggu ?

Di salah satu harian Ibu kota (Kompas, Sabtu 20-10-2007), aku membaca iklan layanan masyarakat dari KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi, begitu menggugah hati. Saya mohon izin kepada KPK untuk menulis ulang teks dalam iklan tersebut di media ini. Insya Allah, sang Kepala Dinas yang kita sebut-sebut dalam tulisan ini bukanlah koruptor, sebagaimana kita adanya.

Selanjutnya, mari takut kepada Allah, sang Rab yang Maha Melihat lagi Maha Mendengar, sedemikian takutnya, setakut-takutnya kita, jauh lebih takut dari takutnya kita kepada KPK.

“Anda Merebut Makanannya”
(dari Iklan KPK, Kompas 20-10-2007)

Saat ANDA korupsi – tak peduli berapa,
Tak peduli dimana, tak peduli dalam
bentuk apa – hakekatnya Anda bukan
mencuri uang Negara saja, tetapi juga
mencuri sesuap nasi dari si kecil lemah ini.
Dana yang Anda sunat, berefek domino.
Berkurang di sini, berkurang di sana,
Mempengaruhi proyek ini, proyek itu.
Dan akhirnya habislah dana untuk
Kesejahteraan si Anak. Insya Allah,
Anda bukan koruptor. Tapi ingat, korupsi
Membunuh anak-anak kita, Jangan
diam saja. Kutuk Para Koruptor. Bantulah
KPK membangun Negara bersih.
Korupsi merampas hak KITA
Untuk hidup sejahtera.
LIHAT, LAWAN, LAPORKAN!

No comments: