Pages

Sunday 28 October 2007

Pak Mufti – “Tukang Jahit Berjalan” dari Cipondoh!

Selepas menjemput anakku dari rumah temannya, tepat sebelum menikung ke jalan di depan rumahku, aku berpapasan dengan seorang penjual jasa jahit pakaian di atas sepeda gerobaknya. Spontan teringat salah satu kegiatan di dalam daftarku yang selalu tertunda untuk kulakukan: memotong celana jeans yang kubeli 2 bulan lalu. Ah, kebetulan fikirku.

Bergegas aku membuka kaca jendela mobil. “Mas, mampir ya ada kerjaan nih,” sapaku cepat seraya memarkir mobil dan bergegas ke dalam rumah untuk mengambil celana jeans-ku dari dalam lemari.

Dua menit kemudian, kusodorkan celana jeans tersebut sembari memulai percakapan standar, “Berapa Mas?”. Sang penjual jasa tersenyum simpatik, “Biasa Pak, cuma lima ngewu,” tukasnya sambil mempersiapkan perangkat produksi jasanya.

Sambil menunggu pekerjaan selesai, kami bercakap-cakap. Kesanku adalah sang penjual jasa jahit ini seorang yang menyadari betul profesinya sebagai penjual jasa, dan sangat mahir melakukan fungsi-fungsi CRM (customer relationship management) dengan versinya sendiri.

“Ya, beginilah Pak, saya ini kan penjual jasa jadi yang penting harus konsisten. Harus mengikuti kemauan yang kasih order jasa. Biasanya kata seorang Ibu langganan saya, mahal seribu nggak masalah asal enak dipakainya,” ceritanya mengalir dengan ramah.

“Juga yang penting kualitas, kalau saya Pak, selesai menjahit saya tungguin, barangkali masih ada yang kurang pas dan mesti dikerjakan ulang. Nggak langsung saya tinggal,” tambahnya lagi spontan. “Dengan begitu orang tetap mau pake jasa saya…”

Suasana menjadi begitu akrab, karena memang sang penjual jasa ini saya kira terlahir dengan karakteristik pribadi yang ramah dan terbuka, dan oleh karenanya sangat gampang mengubah suatu suasana ke dalam “sales mode”.

Pak Mufti, begitulah nama yang ia sebutkan kepadaku. Asal dari desa Kesesi di Pekalongan pelosok. “Saya sudah merantau sejak umur 14 tahun Pak, dulu 12 tahun jadi tukang gerobak sayur di Cileduk. Lalu semenjak peristiwa bakar-bakaran beberapa tahun yang lalu saya kehilangan pekerjaan. Sempat coba jadi tukang becak, Cuma bertahan seminggu, nggak kuat Pak,” kilasnya tentang sejarah keprofesiannya. “Lalu, saya dapat ide untuk usaha jahit seperti ini. Ini mesin saya beli bekas Pak Rp. 30.000, lalu saya perbaiki sendiri.”

Pak Mufti ini memang semenjak kecil sudah punya cita-cita untuk membantu orangtua. Dia rela untuk tidak melanjutkan sekolahnya ke SMP, karena memang sadar posisinya sebagai anak tertua. “Padahal saya dulu waktu SD juara 1 Pak! Sempat dikirim ikut Cerdas-Cermat di kecamatan,” kenangnya.

Pak Mufti, seharinya bisa mendapatkan penghasilan Rp 40,000. Tergantung dari jumlah order yang dating. Satu-satunya cara yang ia lakukan untuk meningkatkan “prospek order” adalah dengan secara konsisten dan regular mengunjungi sudut-sudut komplek perumahan guna mendapatkan “repeat order”.

Saya kira, intensitas “customer visit” yang dilakukan oleh Pak Mufti ini mestinya sangat rutin, karena pengamatannya terhadap kondisi penghuni di komplek perumahan kami sangatlah detail. “Kalau Bapak kan Cuma adannya sabtu minggu ya Pak ?” ungkapnya polos.

Tak terasa celana jeans yang dikerjakan selesai sudah. Pak Mufti bersikeras agar saya mencobanya agar tahu apakah masih perlu dilakukan “re-work” atau tidak. Saya mengikuti saran beliau karena menghargai prinsip-prinsip beliau dalam memastikan kepuasan pelanggan.

Diujung pertemuan kami, saya memahami bahwa salah satu cara agar potensi order makin meningkat adalah dengan memiliki nomor HP yang dapat dihubungi atau untuk menerima sms, sehingga pelanggan beliau dapat dengan mudah memanggilnya untuk sebuah repeat order.

Terima kasih Pak Mufti, atas pelajarannya hari ini.








No comments: