Pages

Thursday 25 October 2007

Selamat Hari Dokter Temanku! (Teknologi Nano & Bio, Kanker, Dokter Spesialis, MRCCC, Bisnis, Humanis...)

Saya chatting dengan seorang rekan, kebetulan berprofesi sebagi seorang dokter. "Selamat hari dokter indonesia ya...," sapaku melalui media maya. Hari dokter Indonesia jatuh pada tanggal 24 Oktober tiap tahunnya.
"Wah, terima kasih. Saya saja tidak tahu ada hari dokter indonesia," ulasnya balik. Saya sebenarnya iri, kalau saja ada hari Insinyur Indonesia aku mungkin akan selalu mengingatnya dan merayakannya. Ihik.

Ngomong-ngomong soal kedokteran Indonesia, saya jadi teringat sebuah artikel yang pernah saya baca di sebuah majalah bisnis bulanan Globe Asia Magazine (edisi July 2007). Salah seorang pengusaha kakap kelas atas yang sekarang juga mengembangkan sebuah pusat riset berbasis teknologi nano (nanotechnology), mengulas tentang market bisnis pengobatan kanker di Indonesia. Saya yakin jauh dari sekedar bisnis, pengusaha ini juga memiliki visi kemanusiaan yang dalam.

Saya memahami bahwa sesungguhnya lulusan pendidikan kedokteran dari beragam universitas di Indonesia ini adalah sekitar 4000 dokter setiap tahunnya, ini jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan populasi kita (sekarang sekitar 230 juta orang), dengan index kelahiran sekitar 3 juta bayi setiap tahunnya. Dari sudut ilmu ekonomi pasar, bila supply resource kedokteran sangat kecil sedangkan permintaan banyak, maka ongkos pengadaan resource akan menjadi tinggi. Mari lihat situasi ini dari sisi kerangka negara dan kesejahteraan masyarakat di bidang kesehatan...tentunya sangat memprihatinkan.

Juga saya dengar, keluaran pendidikan dokter spesialis juga sangat minim. Apakah memang sedemikian susahnya dan lamanya sistem pendidikan kedokteran di negara kita ini harus mengerami para dokter muda untuk kemudian ditetaskan menjadi dokter spesialis ? Apakah tidak ada "sense of crisis" yang lebih baik dari para profesor di pendidikan kedokteran kita untuk mempercepat proses pendidikan ini guna menghasilkan lulusan yang terdidik, terampil dengan cara yang cepat dan efektif ?

Joke yang pernah dan sering saya dengar adalah "Wah, kalau sekolah dokter spesialis itu sangat susah dan menguras stamina, karena lulusannya bukan sembarangan, gimana kalo nanti asal lulus, bisa banyak orang mati ditangannya ?". Dalam hatiku, "Iya, juga tolong dihitung berapa banyak orang tewas selama menunggu dokter spesialis lulus...".

Lebih jauh lagi mengulas tentang pendapat pengusaha di atas, bahwasanya fasilitas pengobatan kanker di Indonesia masih sangat minim. Dari resource tenaga ahli hanya tersedia sekitar 100 orang dokter spesialis kanker dan 60 orang dokter spesialis syaraf (bandingkan lagi dengan 230 juta populasi penduduk Indonesia). Tanpa mengabaikan adanya fasilitas di RS Kanker Dharmais misalnya, diperkirakan ada lebih dari 300 ribu orang Indonesia yang pergi ke Singapura setiap tahunnya untuk berobat kanker, ini setara dengan biaya pengobatan sekitar 9-10 triliun rupiah setahun! (APBD Provinsi Sumater Selatan saya kira sekitar 2 triliun setahun).

Secara finansial ini merupakan kerugian yang cukup signifikan bagi Indonesia, disamping itu dari sisi kemanusiaan bayangkan apa yang dialami orang-orang yang tidak memiliki kelapangan ekonomi untuk berobat ke luar negeri ? Mereka akan seperti menghitung hari kematiannya saja. Hal ini sangat mengugah diri pengusaha tadi, sebagaiman juga menggugah perasaanku yang terdalam.

Pengusaha tadi adalah Mochtar Riyadi, yang sekarang sedang menggarap MRCCC (Moctar Riyadi Comprehensive Cancer Center) dengan aset sekitar 900 milyar rupiah. Visi beliau adalah menjadikan institut MRCCC ini menjadi solusi humanis bagi masyarakat Indonesia yang menderita penyakit mematikan ini. Basis riset dan teknologi di insitut ini adalah penerapan dan penelitian lebih lanjut tentang aplikasi teknologi nano dan teknologi bio di bidang kedokteran.

Sementara para bos konglomerasi bisnis di Indonesia sibuk terjun ke kancah politik praktis demi kursi presiden, pengusaha di atas dengan tekun dan konsisten memberikan kontribusi kepada bangsa dan negara di bidang lain: bisnis dan humaniora.

Bila kita iri, yuk jadi seperti beliau!

1 comment:

Anonymous said...

itung2an balik modalnya beda mungkin.. :)

pencerahan yg menarik..

salam kenal